JAKARTA (Suara Karya): Lembaga Sensor Film (LSF), yang dipersoalkan kalangan perfilman, terutama kaum muda, tetap berkibar. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak judicial review UU Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman sekaligus pembubaran Lembaga Sensor Film (LSF).
Namun demikian, MK menyatakan bahwa UU Perfilman conditionally constitutional. Artinya, meski keberadaan dan fungsi LSF yang diminta dibubarkan dalam uji materiil tersebut ditolak dan UU Perfilman tetap dinyatakan konstitusional, UU tersebut harus punya semangat baru yang menjunjung tinggi demokrasi serta hak asasi manusia (HAM).
"Dengan kata lain, UU Perfilman a quo yang ada beserta semua ketentuan mengenai sensor yang dimuat di dalamnya bersifat conditionally constitutional (konstitusional bersyarat--Red)," kata Ketua Majelis Hakim Jimly Asshiddiqie saat membacakan putusan dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Rabu.
Dengan putusan MK itu berarti pembentuk UU harus segera membuat UU Perfilman yang baru. "UU Perfilman yang berlaku saat ini, termasuk ketentuan yang mengatur sensor dan lembaga sensor film, sudah tidak sesuai dengan semangat zamannya," tutur Jimly yang Ketua MK itu.
Majelis hakim lebih lanjut menyatakan, dalil para pemohon (Muhammad Rivai Riza dkk) yang menganggap bahwa norma yang mengatur keberadaan sensor dan lembaga sensor (LSF) telah membatasi kebebasannya untuk berkreasi/mengembangkan diri, adalah benar. Namun, pembatasan itu dimungkinkan oleh Pasal 28 j ayat (1) dan (2) UUD 1945, yang intinya bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dan setiap orang dalam menjalankan hak dan kebebasannya wajib tunduk kepada pembatasan yang telah ditetapkan dengan UU.
Namun, Hakim Konstitusi Laica Marzuki saat menyampaikan dissenting opinion (pendapat berbeda) menilai LSF sudah saatnya untuk dibubarkan. Alasannya, suatu upaya penegakan hukum dalam hal pelanggaran perfilman dapat dilakukan secara represif di bawah payung kaidah-kaidah hukum atas dasar due process of law. "Bumi tidak akan berhenti beredar tatkala LSF dibubarkan," ujarnya.
Menurut Laica, masyarakat perfilman tidak akan sebebas-bebasnya tatkala berhadapan dengan rambu-rambu pembatas yang ditetapkan dengan undang-undang.
Pemohon Annisa Nurul Shanty K (artis), Muhammad Rivai Riza (sutradara film), Nur Kurniati Aisyah Dewi (produser film), Rois Amriradhiani (penyelenggara festival film), dan para artis yang tergabung dalam Masyarakat Film Indonesia (MFI), merespons positif putusan MK.
Penasihat hukum MFI, Christiana Chelsea Chan, mengatakan pengajuan judicial review sejenis bisa saja diajukan kembali, terutama jika LSF tak memenuhi semangat baru itu.
Sedangkan Kabag Litigasi Departemen Hukum dan HAM (Dephuk dan HAM), Mualimin Abdi, menilai syarat yang diajukan MK untuk menilai konstitusionalitas LSF masih absurd.
Ketua LSF Titie Said mengatakan, lembaganya sudah menerapkan yang diminta oleh MK itu. LSF sudah mempunyai semangat baru dan mengikuti perkembangan zaman dalam menyensor film. Dia mencontohkan sebuah film yang bercerita mengenai seorang pria, diperankan oleh Jamie Aditya, yang memperbesar alat kelaminnya. "Dulu, mana boleh film seperti itu beredar," ujarnya. (Wilmar P)
Sumber www.suarakarya-online.com (02/05/08)
Foto Dok Humas MK