Meski ditolak, UU Perfilman dinyatakan conditionally constitutional. Keberadaan dan fungsi LSF dinyatakan tetap konstitusional, syaratnya harus punya semangat baru yang menjunjung tinggi demokrasi dan HAM.
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) mendadak ricuh. Seorang pria bertato kalajengking di leher menggunakan baju gamis memaki-maki para artis, usai sidang putusan pengujian UU No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (UU Perfilman). Teman-teman pria tersebut pun ikut memaki sehingga menambah ricuh suasana. Para artis yang tergabung dalam Masyarakat Film Indonesia (MFI) dilarang melakukan "demonstrasi" dalam gedung MK.
Sejatinya, MFI sedang tak melakukan demonstrasi. Mereka hanya sedang menggelar jumpa pers. Memang, terlihat ada beberapa artis yang menunjukan contoh klasifikasi film. Diantaranya, ada tulisan 17+ (umur tujuh belas tahun ke atas), ada juga tulisan SU (untuk semua umur). Jumpa pers ini tentu saja membicarakan putusan MK yang menolak permohonan mereka.
Siang itu, Rabu (30/4), MK memang telah menolak permohonan judicial review yang diajukan oleh Riri Riza cs ini. Uniknya, meski ditolak, para artis justru merespon positif putusan ini. âKita menyambut baik adanya konklusi mahkamah yang menyatakan UU Perfilman, conditionally constitutional,â ujar Riri.
Ketua MK Jimly Asshiddiqie memang menyatakan hal tersebut. Pertama, ia meminta agar pembentuk UU segera membuat UU Perfilman yang baru. âUU Perfilman yang berlaku saat ini, termasuk ketentuan yang mengatur sensor dan lembaga sensor film sudah tidak sesuai dengan semangat zamannya,â ucapnya saat membacakan konklusi. Jimly juga mendesak agar UU Perfilman yang baru mempunyai sistem penilaian yang sesuai dengan semangat demokratisasi dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
MK menyadari bahwa revisi UU pastinya memakan waktu yang lama. Karenanya untuk menghindari kekosongan hukum, MK pun masih menyatakan keberadaan dan fungsi LSF tetap dapat dipertahankan keberlakuannya. Tetapi syaratnya, keberadaan dan fungsi LSF harus mempunyai semangat baru yang menjunjung tinggi demokrasi dan HAM.
âDengan kata lain UU Perfilman a quo yang ada beserta semua ketentuan mengenai sensor yang dimuat di dalamnya bersifat conditionally constitutional (konstitusional bersyarat),â ujar Jimly lagi.
Syarat absurd
Kepala Bagian Litigasi Departemen Hukum dan HAM (Dephukham) Mualimin Abdi menilai syarat yang diajukan MK untuk menilai konstitusionalitas LSF masih absurd. Yang dimaksud oleh Mualimin adalah syarat agar LSF mempunyai semangat baru yang menjunjung tinggi demokrasi dan HAM. âSyarat itu masih absurd,â tegasnya.
Persoalannya, bisa saja LSF dalam mensensor sudah memenuhi syarat itu, sedangkan para sutradara dan artis yang filmnya telah disensor menganggap LSF belum memenuhi dua syarat itu. Peluang multitafsir pun sangat terbuka.
Ketua LSF Titie Said menilai lembaganya sudah menerapkan yang diminta oleh MK itu. LSF sudah mempunyai semangat baru dan mengikuti perkembangan zaman dalam menyensor film. Ia mencontohkan sebuah film yang bercerita mengenai seorang pria, diperankan oleh Jamie Aditya, yang memperbesar alat kelaminnya. âKalau dulu, mana boleh film seperti itu beredar,â contohnya. Titie pun mengaku menyambut baik putusan ini.
Pihak "lawan" Titie, pun menyambut baik putusan ini. Kuasa Hukum MFI Christiana Chelsea Chan mengatakan pengajuan judicial review sejenis bisa saja kembali dilakukan. Menurutnya, kalau LSF tak memenuhi semangat baru itu, maka pihaknya akan mengajukan judicial review lagi untuk menguji konstitusionalitas LSF kembali. âKita akan ajukan pengujian lagi ke MK,â tegasnya.
Sebagai catatan, MK tak sekali ini saja memutus conditionally constitutional. Hal ini dilakukan MK ketika memutus lima UU berkaitan dengan syarat belum pernah dihukum ancaman pidana 5 tahun atau lebih. MK menilai ketentuan itu tak melanggar konstitusi, syaratnya unsur pidana politik dan unsur kealpaan dikecualikan dari ketentuan ini. Bedanya dengan Putusan UU Perfilman, pada putusan pertengahan Desember 2007 ini MK memberikan syarat yang jelas dan bisa diukur.
Namun, Mualimin sepertinya tak mau terjebak dalam perdebatan "konstitusional bersyarat". Ia meminta agar semua pihak fokus pada amar putusan MK yang menolak permohonan pemohon. âKita ikuti amarnya sajalah,â ujarnya. Mualimin menilai istilah "konstitusional bersyarat" hanya bertujuan untuk menyenangkan pemohon saja.
Berpendapat Berbeda
Majelis hakim konstitusi tak satu suara mengenai putusan ini. Satu orang hakim konstitusi, yakni Laica Marzuki mengeluarkan dissenting opinion atau pendapat berbeda. Berbeda dengan koleganya, Laica menilai LSF sudah saatnya untuk dibubarkan. Karena, menurutnya, suatu upaya penegakan hukum dalam hal pelanggaran perfilman dapat dilakukan secara represif di bawah payung kaidah-kaidah hukum, atas dasar due process of law. âBumi tidak bakal berhenti beredar, tatkala LSF dibubarkan,â ujar hakim yang terkenal puitis ini.
Menurut Laica, masyarakat perfilman tidak akan sebebas-bebasnya tatkala berhadapan dengan rambu-rambu pembatas yang ditetapkan dengan undang-undang. âSekiranya LSF tidak ada lagi, dunia perfilman dan pengguna jasa perfilman (konsumen) tetap terikat di bawah payung hukum,â tambahnya.
Pendapat Laica ini memang bisa dipahami. Berdasarkan informasi yang didapat dari pegawai di lingkungan MK, Laica memang terlihat lebih menyukai kesenian dibanding hakim-hakim yang lain. Hobinya pun tak jauh-jauh dari kesenian, yaitu dunia fotografi. (Ali)
Sumber www.hukumonline.com (30/04/08)
Foto Dok Humas MK