Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak permohonan para Pemohon perkara uji materi UU Perfilman. Amar putusan ini dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, dalam sidang uji UU No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, Rabu (30/4).
Dalam konklusinya, MK menyatakan bahwa UU Perfilman yang berlaku saat ini termasuk ketentuan yang mengatur sensor dan lembaga sensor film sudah tidak sesuai dengan semangat zamannya sehingga sangat mendesak untuk dibentuk undang-undang perfilman yang baru yang lebih sesuai dengan semangat demokratisasi dan penghormatan terhadap HAM.
Bahwa, lanjut Jimly, untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum yang berakibat terjadinya ketidakpastian hukum, keberadaan UU Perfilman a quo beserta ketentuan tentang sensor dan lembaga sensor film yang termuat di dalamnya, tetap dapat dipertahankan keberlakuannya, sepanjang dalam pelaksanaannya dimaknai dengan semangat baru untuk menjunjung tinggi demokrasi dan HAM atau dengan kata lain UU Perfilman a quo yang ada beserta semua ketentuan mengenai sensor yang dimuat di dalamnya bersifat conditionally constitutional (konstitusional bersyarat). âOleh karena itu, keberadaan sensor dan lembaga sensor (LSF) yang tercantum dalam UU Perfilman sepanjang memenuhi syarat-syarat tersebut di atas tetap konstitusional,â ucap Jimly.
Uji UU Perfilman dengan nomor perkara 29/PUU-V/2007 ini dimohonkan oleh Annisa Nurul Shanty K., Muhammad Rivai Riza, Nur Kurniati Aisyah Dewi, Lalu Rois Amriradhiani, dan Tino Saroengallo. (Prana Patrayoga Adiputra)