Banyak peraturan daerah yang mengekang hak-hak konstitusional perempuan. Pembuat kebijakan daerah dinilai kurang berperspektif HAM.
Konstitusi Republik Indonesia tidak mengenal pembedaan suku, agama, jenis kelamin, dan keyakinan politik. Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie menegaskan setiap warga negara âlaki-laki atau perempuanâpunya hak konstitusional yang sama terhadap 12 rumpun hak yang ada dalam UUD 1945. Konstitusi hanya menggunakan frase "setiap orang", "setiap warga negara", dan "segala warga negara".
Hak-hak konstitusional itu seyogianya terus diperjuangkan kaum perempuan. Apalagi dalam praktek banyak regulasi di daerah yang mengungkung hak-hak konstitusional perempuan. Bahkan, menurut Direktur Eksekutif The Reform Institute, Yudi Latief, perda-perda itu bertentangan Konstitusi UUD 1945. âPemerintah daerah dan DPRD terlalu didominasi fanatisisme. Seharusnya Perda itu mengacu pada peraturan di atasnya, terlebih lagi konstitusi, karena ini mencakup kepentingan seluruh masyarakat, bukan hanya kepentingan penentu kebijakan di daerah ituâ, ujar Yudi.
Mantan Ketua Komnas Perempuan, Saparinah Sadli menambahkan ada sekitar 27 kebijakan daerah yang substansinya mengungkung hak-hak konstitusional perempuan karena mengatur cara berpakaian, berprilaku dan mobilitas perempuan. Selain Aceh, daerah yang dianggap menerbitkan perda diskriminatif adalah Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Bengkulu, Lampung, Sumatera Selatan, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo.
Peraturan yang dianggap Saparinah diskriminatif adalah perda yang mengaitkan larangan-larangan berdasarkan ukuran moralitas dan ajaran agama yang dipahami kelompok tertentu. Salah satu rumusan yang dianggap diskriminasi adalah kewajiban memakai jilbab bagi perempuan. Merumuskan kewajiban berpakaian tertentu mau tidak mau mengharuskan perempuan untuk ikut kehendak pembuat kebijakan. Jika tidak, si perempuan bisa dikriminalisasi.
Pemakaian jilbab, kata Yudi Latief, tak perlu diatur Pemerintah, dengan cara dirumuskan ke dalam norma peraturan daerah. âPenggunaan atribut atau simbol-simbol keagamaan bukanlah sesuatu yang patut dipermasalahkan, tetapi akan menjadi permasalahan besar apabila pemakaian atribut itu harus pula diurus dengan campur tangan pemerintah,â tandasnya.
Perda (selain di Aceh-red) yang Mewajibkan Penggunaan Jilbab
Inisiator, Pendukung Utama
Sumatera Barat
Perda No.6 Tahun 2002 (Solok)
Pemda dan DPRD
Perda No.1 Tahun 2003 (Sawahlunto)
Perda No.5 Tahun 2003 (Limapuluh Koto)
Perda No.22 Tahun 2003 (Pasaman)
Sulawesi Selatan
Perda No.4 Tahun 2003 (Bulukumba)
Pemda, DPRD, dan Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI)
Perda No.16 Tahun 2005 (Maros)
Perda No.6 Tahun 2005 (Engrekang)
Sumber : The Reform Institute
Wawasan HAM
Direktur Fasilitasi Perda Ditjen Perancangan Perundang-undangan Dephukham Wahiduddin Adam menduga penerbitan perda-perda yang diskriminatif terhadap perempuan lebih disebabkan kurangnya wawasan HAM dan jender aparat di daerah. Malah, duga Wahiduddin, masih ada aparat di daerah yang kurang paham tentang makna jender.
Kondisi penentu kebijakan yang demikian menyebabkan produk regulasi mereka kurang, bahkan tidak responsif HAM dan jender. Untuk itu, Dephukham sedang menggalakan pelatihan dan pembinaan HAM kepada para pemangku kepentingan pemerintahan daerah.
Diakui Wahiduddin, menjadi hal yang sulit ketika HAM dan jender ini dipertentangkan dengan agama. Di satu sisi, pemerintah daerah menganggap bahwa tidak ada masalah dengan penerapan perda diskriminatif. âMalah mereka mengatakan, pemerintah pusat kenapa harus repot-repot sih, wong di daerah baik-baik saja, tidak ada masalahâ, tutur Wahiduddin.
Seolah ada pembenaran, selama masyarakat tidak ada protes atau keberatan dari masyarakat, disharmonisasi perda diskriminatif dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, lebih-lebih lagi konstitusi, bukan menjadi suatu masalah. Pembenaran semacam ini, kata Kamala Chandrakirana, perlu diluruskan. Ketua Komnas Perempuan ini memandang perlu dialog bersama yang melibatkan pemerintahan daerah sebagai langkah awal pemenuhan hak konstitusional perempuan.
(CRR)
Sumber www.hukumonline.com (30/04/08)
Foto http://voicesnoises.blogs.friendster.com