KUASA Hukum Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Todung Mulya Lubis menjelaskan uji materi UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) bukan untuk menunjukkan bahwa pihaknya fobia terhadap partai politik (parpol). Melainkan untuk mencegah kemungkinan pembajakan kepentingan daerah oleh parpol yang bersifat sentralistik.
"Padahal Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) selalu didefinisikan sebagai kulminasi dari kemajemukan yang ada. Tidak pernah ada disebut NKRI sebagai kumpulan parpol," ujar Todung dalam sidang Pleno Pemeriksaan Permohonan di Mahkamah Konstitusi (MK), kemarin (29/4).
Dengan dihapusnya syarat domisili, menurut Todung, semakin menciutkan representasi daerah. Belum lagi penghapusan syarat nonparpol bagi anggota DPD akan semakin membuka peluang parpol mengatasnamakan daerah."Artinya parpol bisa jadi ekstensi dari DPR dan perwakilan daerah, ini irasional."
Senada dengan itu, Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita menangkap kesan rumusan UU Pemilu menyimpan kepentingan sesaat. "Kami menangkap adanya kesan terjadi gerilya politik terselubung untuk kepentingan sesaat. Setidaknya dugaan ini diperkuat jika ditelusuri konsideran dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 secara eksplisit dinyatakan syarat-syarat khusus bagi calon anggota DPR dan DPD."
Tetapi dalam UU Pemilu, syarat khusus calon anggota DPD tidak dimunculkan. Padahal dalam draf RUU Pemilu yang diajukan oleh pemerintah dicantumkan syarat anggota DPD seperti pada UU No 12 Tahun 2003. "Perubahan itu menimbulkan pertanyaan apa yang sebetulnya terjadi? Apa sebabnya pembuat UU mengabaikan semangat konstitusi dan kepentingan apa yang ada di baliknya," ujar Ginandjar.
Kepentingan terselubung semakin terang dalam konsideran UU No 31 Tahun 2002 tentang parpol. Disebutkan bahwa partai politik merupakan salah satu wujud partisipasi masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi. Tapi dalam UU No 2 Tahun 2008 tentang parpol, frasa "salah satu wujud" telah dihapuskan. "Ini mengindikasikan parpol ingin dijadikan sebagai satu-satunya sarana perwujudan demokrasi dan menafikan elemen masyarakat lainnya, sebagaimana diemban dalam prinsip civil society," ujarnya.
Dalam persidangan, DPD batal menghadirkan saksi dan saksi ahli. Menurut Ginandjar, ketidakhadiran saksi ini disebabkan karena ketidaktahuan mereka mengenai jadwal sidang uji materil itu. "Saksi ahli pemohon tidak bisa hadir karena memang tidak mengetahui bahwa hari ini (kemarin-red) merupakan jadwal untuk menghadiri sidang uji materi di MK," Ginandjar.
Beberapa pakar yang direncanakan hadir antara lain Sri Soemantri Mertosuwignyo, Denny Indrayana, dan Cecep Effendi. Sedangkan saksi yang diajukan adalah Progo Nurjaman. "Dari masukan pakar tersebut kita dapat mengetahui apakah pemerintah dan legislatif sudah membuat UU secara benar. Sementara Pak Progo merupakan saksi yang tepat karena pada waktu itu menjabat sebagai Sekjen Depdagri," imbuhnya. Rhama Deny
Sumber www.jurnalnasional.com
Foto www.google.co.id