JAKARTA, HUMAS MKRI – Kepala Biro Hukum dan Administrasi Kepaniteraan (HAK) Mahkamah Konstitusi sekaligus Ketua Tim Sekretariat Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Fajar Laksono menjadi narasumber pada Focus Group Discussion (FGD) Kajian Majelis Etik yang diadakan Komisi Informasi Pusat (KIP) pada Kamis (16/5) pagi di Swiss-Belinn Kemayoran, Jakarta. Acara ini bertujuan memperkuat kepastian bagi Majelis Etik dalam menegakkan Kode Etik Anggota Komisi Informasi. Acara ini dibuka oleh Wakil Ketua KIP Arya Sandhiyudha, dengan pengantar diskusi oleh Komisioner Bidang Kelembagaan Handoko Agung Saputro.
Dalam paparannya, Fajar Laksono menceritakan sejarah MKMK yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi. Pada awalnya, MKMK bernama Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) yang terdiri dari 5 orang, yakni berasal dari 1 (satu) hakim konstitusi, unsur akademisi, tokoh masyarakat, mantan hakim konstitusi, dan mantan ketua pimpinan lembaga negara.
“Selanjutnya pada 2014 ada juga namanya Dewan Etik berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, yang terdiri dari 3 orang yakni 1 (satu) Hakim Konsitusi aktif, 1 (satu) akademisi di bidang hukum dan 1 (satu) tokoh masyarakat. Dewan Etik ini akan memeriksa jika dugaan pelanggarannya etik itu ringan atau sedang akan selesai di Dewan Etik, namun jika dugaan pelanggaran etik itu berat direkomendasikan membentuk MHMK. Selanjutnya, seiring dengan perubahan UU MK, MKHK diubah menjadi Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) ad hoc yang sifatnya seperti pemadam kebarakan di ketuai oleh Jimly Asshiddiqie,” ujar Fajar.
Perlu diketahui MKMK berperan dalam menjaga kehormatan dan martabat Hakim Konstitusi serta menegakkan Kode Etik Hakim Konstitusi (Sapta Karsa Hutama). MKMK memantau, memeriksa, dan merekomendasikan tindakan terhadap hakim yang diduga melanggar kode etik. Selain itu, MKMK memiliki wewenang untuk memanggil dan memeriksa hakim terlapor atau terduga, meminta penjelasan dan pembelaan, serta mengumpulkan dokumen atau alat bukti lain.
Selain Fajar, acara ini juga menghadirkan narasumber dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). FGD ini bertujuan untuk menghasilkan masukan konstruktif dalam penegakan Kode Etik Komisi Informasi.
Dalam menjalankan tugasnya, KIP berpedoman pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. KIP memiliki kewenangan untuk membuat dan mengumumkan kode etik kepada publik, yang telah diatur dalam Peraturan Komisi Informasi Nomor 3 Tahun 2016. Meskipun demikian, kepastian dalam penegakan kode etik oleh Majelis Etik masih diperlukan.
FGD ini diharapkan dapat memperkuat akuntabilitas dan transparansi kinerja KIP, serta menjaga kredibilitas dan profesionalisme lembaga dalam menjalankan tugasnya mengawasi keterbukaan informasi publik di Indonesia.(*)
Penulis: Fauzan Febriyan
Editor: Lulu Anjarsari P.