Untuk menghindari pelanggaran, pengawasan oleh pemerintah bersama pengusaha
UNDANG-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan masih kontroversi. Menjelang Hari Buruh Internasional 1 Mei besok, para buruh di Indonesia menyoroti sistem kerja kontrak dan ketentuan tenaga kerja lepas (sistem outsorcing). Sebenarnya, yang terpenting mengawasi pelaksanaan UU Ketenagakerjaan ini agar tidak terjadi pelanggaran.
Direktur Utama PT Jaminan Sosial Tenaja Kerja (Jamsostek), Hotbonar Sinaga mengatakan, sebenarnya dalam UU no. 13 tahun 2003 sudah mengatur jelas sistem outsourcing. Dalam UU tersebut telah diatur, outsourcing bisa dilakukan untuk tenaga kerja yang tidak pada bisnis utama perusahaan yang bersangkutan.
"Misalkan, pada Bank, mereka tidak boleh meng-outsourcing tenaga kerja pada inti bisnis, seperti kasir. Mereka boleh meng-outsource tenaga kerja yang tidak terkait langsung dengan bisnis seperti tenaga pengamanan atau cleaning service," kata Hotbonar yang ditemui Jurnal Nasional di ruang kerjanya, Senin (28/4). Mengenai tenaga kontrak, katanya, pasti menimbulkan ketidaknyamanan akan ketidakpastian pada karyawan.
Untuk menghindari pelanggaran atas aturan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan itu, perlu pengawasan bersama antara pemerintah dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Sebenarnya dalam hal ini, PT Jamsostek bersifat pasif. Namun, jika diminta berpendapat, pengusaha harus bisa berpikir positif mengenai aturan tenaga kerja outsourcing ini.
"Perusahaan yang menggunakan tenaga outsourcing untuk tenaga kerja pada bisnis utama sebenarnya merugi. Bayangkan, setelah mereka melatih karyawan, ketika kontraknya habis, karyawan itu harus berhenti. Untuk mengganti dengan orang baru, mereka harus berinvestasi lagi," ucapnya.
Untuk mengurangi kekhawatiran pekerja mengenai sistem kerja kontrak, bisa diatasi menggunakan program PT Jamsostek. Dia tidak menampik, akan ada perbedaan program Jamsostek yang bisa diterima tenaga kerja tetap dengan tenaga kerja kontrak. Setidaknya, dengan program Jamsostek, kekhawatiran itu bisa berkurang. "Solusi sebenarnya, dengan pengawasan regulasi, untuk menghilangkan sistem tenaga kerja kontrak dan sistem tenaga kerja lepas masih sulit," katanya.
Dalam hal ini, Direktorat Jenderal Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) bisa menegakkan regulasi ini. Langkah yang dilakukan Depnakertrans sebenarnya sudah dimulai. Tahun ini sudah ditetapkan sebagai tahun revitalisasi pengawasan ketenagakerjaan. "Sebetulnya yang direvitalisasi bukan cuma masalah outsourcing, juga Jamsostek dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Namun, ucapnya, pelaksanaan pengawasan ini akan terbentur oleh kesulitan kebijakan otonomi daerah. Pengawasan di daerah sulit, karena Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) tidak bertanggung jawab pada Depnakertrans. "Disnakertrans bertanggung jawab pada pemerintah daerah," ujarnya.
Selain itu, kebijakan pemerintah daerah yang sering memutasi pejabat Disnakertrans juga menjadi hambatan. Kepala dinas yang ditunjuk seringkali tidak mengerti tentang ketenagakerjaan. "Kami terpaksa harus menjelaskan lagi pada Kepala Disnakertrans-nya tentang regulasi ketenagakerjaan. Hal ini juga yang menjadi kesulitan Depnakertrans. Selain menjelaskan lagi pada Kepala Disnakertrans, kami juga harus menjelaskan pada staf-stafnya, termasuk penyidik PNS. Kalau orangnya sering dipindah-pindah, program yang dijalankan tidak akan optimal," kata Hotbonar.Tussie Ayu Riekasapti/Wahyu Utomo
Kutipan: Pengawasan di daerah sulit, karena Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) tidak bertanggung jawab pada Depnakertrans. (Tussie Ayu Riekasapti)
Sumber www.jurnalnasional.com
Foto www.google.co.id