JAKARTA (Suara Karya): Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ginandjar Kartasasmita menyatakan, penghapusan syarat domisili dan syarat nonpartai politik dalam UU Nomor 10/2008 telah menghilangkan jiwa dan semangat yang dikandung dalam pasal-pasal UUD 1945.
"Tidak tercantumnya syarat domisili dan syarat nonparpol menghilangkan arahan, jiwa, dan semangat yang dikandung dalam pasal-pasal UUD 1945," katanya dalam sidang pengujian UU Pemilu, di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa.
Sebelumnya, DPD, anggota DPD, warga daerah, Sekretariat Nasional Masyarakat Hukum Adat, Cetro, Indonesian Parliamentary Center (IPC), dan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), mengajukan uji materiil Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu ke MK.
Menurut Ginandjar, pada prinsipnya ada dua hal yang dipersoalkan dalam rangka prinsip keanggotaan DPD sebagai wakil-wakil daerah. Pertama pada Pasal 22 C ayat (1) UUD 1945 yang menetapkan anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilu.
"Pasal ini memberikan petunjuk yang tegas bahwa ada kaitan erat antara anggota DPD dengan provinsi yang diwakilinya," katanya. Kemudian, kedua, di dalam Pasal 22 E ayat (4) UUD 1945, soal keanggotaan DPD yang mengamanatkan bahwa peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan.
"Untuk DPD tegas sekali bahwa UUD 1945 menghendaki peserta pemilu bersifat perseorangan," katanya.
Sementara itu, kuasa hukum pemohon, Todung Mulya Lubis, menyatakan, UU Pemilu telah menghilangkan norma karena dihapuskannya syarat domisili dan nonparpol. "Bukan mustahil, anggota DPD itu orang yang tidak mengenal daerahnya, dan dibajak oleh orang parpol," katanya.
Dalam permohonannya, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 12 dan 67 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 22 C ayat (1) dan Pasal 22 E ayat (4) UUD 1945, atau setidak-tidaknya menyatakan Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 22 C ayat (1) dan Pasal 22 E ayat (4) UUD 1945 sepanjang tidak mengandung syarat domisili dan nonparpol.
Hakim konstitusi I Dewa Gde Palguna menyatakan permohonan DPD itu merupakan kasus unik. "Semua berharap ada inovasi dalam putusan. Masalahnya, apakah inovasi tersebut sesuai dengan hakikat MK sebagai negative legislator. Pertanyaannya, apakah ini berkaitan dengan judicial review atau legislative review," katanya.
Sementara itu, Ketua Majelis Hakim MK Jimly Asshiddiqie menyatakan, permohonan DPD dan LSM untuk melakukan perubahan atau penambahan norma kepada Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan suatu hal baru atau baru pertama kali terjadi.
"Sekarang ini, parlemen meniadakan norma, sedangkan MK diminta membuat norma," kata Jimly .
Selama ini, kata Jimly, MK dicap sebagai pihak yang paling berwenang membatalkan UU yang bertentangan dengan UUD 1945. Namun, sesungguhnya tidak tertutup kemungkinan MK menambah isi UU. "Kami ini mujtahid. Kalau bisa meyakinkan, kenapa tidak?. Inovasi tergantung input-nya," ujarnya. (Wilmar P/Ant)
Sumber www.suarakarya-online.com
Foto www.google.co.id