Di balik jaminan kebebasan masyarakat memperoleh informasi publik, UU KIP justru bisa jadi ancaman bagi media, peneliti, dan masyarakat umum.
Bagai pisau bermata dua. Itulah pandangan Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan terhadap Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Menurut Manan, UU yang baru saja disahkan parlemen bulan lalu dan berlaku dua tahun kemudian ini justru bisa mengancam kebebasan pers. Padahal, harusnya beleid ini memayungi kebebasan publik mengakses informasi seluas-luasnya dari badan publik.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Pertahanan-Keamanan dan Perdamaian (Insitute for Defence Security and Peace Studies, IDSPS) Mufti Makarim sependapat dengan Manan. Menurut Mufti, wet ini malah mengancam tiga golongan. Pertama, media dan jurnalis. Kedua, para peneliti, khususnya bidang hankam. Dan ketiga, masyarakat pada umumnya yang berhak memperoleh informasi publik.
Kekhawatiran keduanya berdasar pada ketentuan pidana yang tertuang pada UU KIP. Bagusnya, UU KIP memukul palu pidana bagi lembaga publik yang tidak mau berbagi informasi kepada masyarakat. Namun, rupanya UU ini juga punya klausul sanksi bagi masyarakat pengguna informasi. Khususnya pengakses informasi yang tergolong rahasia. Padahal, âdefinisi rahasia masih kabur di sini,â teriak Manan, yang juga jurnalis Majalah Tempo.
Di satu sisi, UU ini hendak menjunjung tinggi hak asasi manusia akan informasi. Namun, rupanya, âketentuan ini juga terlalu besar memasukkan isu-isu state sovereignity,â timpal Mufti. Negara, bisa saja memainkan alasan integritas nasional atau ancaman separatisme. Walhasil, rahasia negara di atas segala-galanya.
Celakanya, Indonesia tidak punya jangka waktu kadaluarsa rahasia negara. Mekanisme perpanjangan kadaluarsa yang hampir habis, apalagi. Nihil. Padahal, rahasia, menurut Mufti, ada konteksnya. Makanya, jika sudah kadaluwarsa, rahasia negara harusnya sah-sah saja diketahui oleh publik. âSeperti kasus dokumen Pentagon di Amerika Serikat yang dikuak oleh Washington Post dan New York Times,â sambungnya.
Manan makin khawatir dengan adanya Rancangan Undang-Undang Intelejen. Draf terakhir RUU ini ditenggarai lebih konservatif daripada rancangan awal. Artinya, negara bakal makin tertutup berbagi informasi. Manan mengingatkan, ada ketentuan bahwa hukum yang lebih baru mengalahkan hukum yang lama. Artinya, jika nanti disahkan, âUU Intelejen lebih utama daripada UU KIP,â tuturnya.
Manan juga mencatat adanya Komisi Informasi. Lembaga inilah yang bakal jadi penengah antara publik pemohon informasi dan lembaga publik yang ogah memberikan informasi yang diminta. Jika ada beda penafsiran âkerahasiaanâ, komisi ini bisa menjadi mediator kedua pihak. Jika sengketa berlanjut, bisa maju ke ajudikasi alias sidang komisi. Jika masih ada yang tak puas, bisa banding ke pengadilan negeri. Lalu mentoknya kasasi ke Mahkamah Agung. âMasalahnya soal tafsir apa itu "informasi rahasia". Sedangkan, terus terang saja, peradilan kita belum bisa banyak diharapkan,â seloroh Manan.
Delik material
Sebenarnya masyarakat bisa berkilah dengan delik material. Artinya, âinformasi rahasiaâ yang dapat memecah-belah keutuhan negara ini harus ditakar dampaknya. Media, misalnya. Berita investigatif yang dianggap âmencuriâ rahasia negara itu harus terbukti dahulu dampak materialnya.
Namun buru-buru Manan tak merekomendasikan argumen delik material itu. Lantaran, bisa-bisa malah jadi bumerang senjata makan tuan. Maklum, Tempo punya pengalaman. Tatkala berperkara dengan pengusaha Tommy Winata, Tempo kena getah klausul delik material. Hakim menganggap berita Tempo soal Tommy membuat keonaran. Pasalnya, massa pembela Tommy menggeruduk kantor Tempo. âBerita kita dianggap sudah menimbulkan kerusuhan,â sambungnya.
Artinya, menurut Manan, pihak yang enggan memberikan informasi publik dengan berlindung di balik rahasia negara itu bisa merekayasa kerusuhan. âTinggal bayar saja orang untuk berdemo atau meluruk kantor kita,â tuturnya.
Uji materi
Menyoroti berbagai kekurangan UU ini, baik Manan maupun Mufti ancan-ancang menguji materi UU KIP. Sayangnya, UU ini baru berlaku dua tahun lagi. âSetidaknya ada waktu panjang untuk mengkaji materi gugatan,â tukas Manan.
Mufti juga bakal mengumpulkan perbandingan UU KIP berbagai negara maju. Di negara lain, UU KIP justru memasukkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai konsideran. âSetelah deklarasi internasional, barulah konstitusi yang tertera dalam bagian menimbang.â
Akan kita lihat implementasi UU KIP ini. Akan melindungi hak warga untuk tahu, atau lembaga publik makin menutup tirainya.
(Ycb)
Sumber www.hukumonline.com (30/04/08)
Foto http://kelana-tambora.blogspot.com