Biem menilai kekhususan DKI Jakarta telah menghambat haknya untuk memilih dan dipilih sebagai walikota di tanah kelahirannya. Target lainnya, agar dibentuk DPRD Kota.
Pemberlakuan sifat khusus terhadap suatu daerah lazimnya selalu diidam-idamkan oleh penduduk setempat. Dalam konteks Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan Papua, misalnya, berpuluh-puluh tahun mereka memperjuangkan otonomi khusus. Hasilnya cukup positif yakni UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Namun, kondisinya berbeda dengan DKI Jakarta. Seorang anak betawi asli, Biem Triani Benyamin justru mempersoalkan kekhususan daerahnya. Ia berpendapat beberapa kekhususan yang ada di DKI Jakarta bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, putra Budayawan Betawi Alm. Benyamin Sueb ini membawa kekecewaannya ini ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Tak tanggung-tanggung, Biem mengajukan permohonan judicial review terhadap dua undang-undang sekaligus, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan UU 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU DKI Jakarta).
Biem mempersoalkan ketentuan Pasal 227 ayat (2) UU Pemda. Pasal inilah yang menjadi rujukan awal dikecualikannya DKI Jakarta dibanding daerah lain. âProvinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara berstatus sebagai daerah otonom, dan dalam wilayah administrasi tersebut tidak dibentuk daerah yang berstatus otonomâ bunyi pasal tersebut. Sedangkan penjelasannya menyatakan âOtonomi daerah di Provinsi DKI Jakarta bersifat tunggal sehingga wilayah kota dan kabupaten di Provinsi DKI Jakarta tidak bersifat otonomâ.
Sedangkan UU DKI Jakarta lebih banyak lagi. Biem memborong 12 pasal yang akan diuji dengan UUD 1945. âFokusnya adalah Pasal 19 ayat (2),â ujar Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari wilayah DKI Jakarta ini, Selasa (29/4). Pasal itu menyatakan Walikota/Bupati diangkat oleh Gubernur atas pertimbangan DPRD Provinsi DKI Jakarta dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan.
Biem beralasan ketentuan-ketentuan seperti itu menghambat demokrasi yang ada di DKI Jakarta. âRakyat DKI Jakarta tak bisa memilih walikota dan DPRD kota,â tegasnya. Menurutnya, ketentuan itu merupakan diskriminasi bagi DKI Jakarta karena di daerah lain ada pemerintahan kabupaten atau kota. Hal ini juga diklaim Biem sebagai kerugian konstitusionalnya. Niatnya berkiprah sebagai walikota terhambat.
Pasal 18 UUD 1945
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Biem mengakui kekhususan daerah itu sebenarnya sah-sah saja. Namun, lanjutnya, jangan sampai kekhususan daerah itu bertentangan dengan UUD 1945. Ia pun mengutip ketentuan Bab VI tentang Pemda yang ada dalam UUD 1945.
Uniknya, sehari sebelum permohonan ini disidangkan, Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengungkapkan pemikirannya mengenai kekhususan daerah-daerah di Indonesia. Jimly memang tak berbicara secara khusus mengenai permohonan ini, tapi Guru Besar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Indonesia ini berbicara secara umum di hadapan mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Se-Indonesia yang hadir di gedung MK.
Jimly memberi "kuliah" bahwa ada empat daerah khusus di Indonesia ini. Keempat daerah itu adalah DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Papua, dan NAD. Ia menjelaskan kadang-kadang kekhususan daerah tersebut seakan-akan menabrak konstitusi. âContohnya adalah Yogyakarta yang menganut sistem kesultanan. Jelas-jelas ini bertentangan dengan konsep NKRI yang terdapat dalam konstitusi,â jelasnya, Senin (28/4). Namun, kekhususan seperti itu, lanjut Jimly, masih dapat ditolerir.
Hanya bersifat declarator
Permohonan Biem ini juga tak luput dari kritikan hakim panel konstitusi dalam sidang bertajuk pemeriksaan pendahuluan ini. Hakim Konstitusi Laica Marzuki meminta agar petitum pemohon yang berbunyi "memerintahkan MK" segera dihapuskan.
âPutusan MK itu bersifat declarator, sehingga otomatis mengikat,â ujarnya. Hakim Konstitusi Mahfud MD pun mengamini pendapat koleganya. âKalau bunyinya seperti itu, berarti anda meminta MK untuk ikut mengatur. Padahal itu bukan kewenangan MK,â tambahnya.
Yang dimaksud kedua hakim ini adalah petitum angka empat dari permohonan Biem. Petitum itu lengkapnya berbunyi "agar MK memerintahkan kepada instansi terkait untuk melaksanakan putusan ini pada Pemilu 2009 dan Pilkada di Provinsi DKI Jakarta khususnya pilkada tingkat kabupaten/kotamadya pada periode yang bersangkutan, sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku." (Ali)
Sumber www.hukumonline.com (29/04/08)
Foto http://img412.imageshack.us/img412/7721/akecilwz8of0.jpg