Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu), Selasa (29/04), di ruang sidang Pleno Gedung MK. Sidang mengagendakan Pemeriksaan Perbaikan Permohonan.
Pada awalnya, perkara No. 10/PUU-VI/2008 ini dimohonkan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Anggota DPD, warga daerah, Sekretariat Nasional Masyarakat Hukum Adat, Centre for Electoral Reform (CETRO), Indonesian Parliamentary Center (IPC), dan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi). Namun, dalam perbaikan permohonannya, para Pemohon mengklasifikasikan diri terdiri dari DPD, anggota DPD, perorangan warga negara Indonesia yang memiliki perhatian besar terhadap pemilihan umum, parlemen Indonesia, dan penyaluran aspirasi daerah (di dalamnya terdiri dari para pegiat LSM seperti CETRO, IPC, dan FORMAPPI, serta Seknas Masyarakat Hukum Adat), dan ke empat, ialah warga daerah.
Di dalam permohonannya, para Pemohon menerangkan bahwa penghapusan syarat domisili dan syarat non-partai politik dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu merupakan upaya penghilangan norma konstitusi dalam undang-undang. Ketiadaan kedua syarat tersebut, oleh para Pemohon, dianggap telah menyebabkan UU Pemilu menjadi cacat karena ia telah menegasikan keberadaan norma konstitusi bahwa calon anggota DPD dipilih dari provinsi terkait (Pasal 22C Ayat (1) UUD 1945) dan calon anggota DPD berasal dari perseorangan (Pasal 22E Ayat (4) UUD 1945).
âDPD merupakan representasi dari masyarakat daerah yang lintas golongan dan lintas komunitas, budaya, bahkan mewakili kandungan bumi di daerah masing-masing yang harus bebas dari sekat ideologi,â ucap Ketua DPD, Ginandjar Kartasasmita, mengawali pemaparannya di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin Ketua MK, Jimly Asshiddiqie.
Partai politik di daerah, lanjut Ginandjar, merupakan representasi dari kedudukannya di pusat yang sangat berpotensi mengabaikan kepentingan daerah, bila tidak sesuai dengan semangat yang diusung partai politik di pusat. âJika alasan penghilangan ketentuan pembatasan syarat domisili dan non parpol adalah demi kebebasan berpolitik, maka, mengapa tidak dibuka peluang calon independen dalam pemilihan anggota DPR, termasuk juga menjadi Presiden melalui calon independen, bukan lewat parpol,â ujar Ginandjar.
Mengulang pemaparan pada persidangan yang lalu, Kuasa Pemohon, Todung Mulya Lubis, mengatakan bahwa dalam Pasal 12 dan Pasal 67 justru ada semacam penghilangan norma. âDi sini ada hak konstitusional yang dirugikan karena bertentangan dengan original intent para pembentuk UUD,â papar Todung.
Untuk itu, Todung mengusulkan pada MK untuk melakukan semacam âantisipatory judicial reviewâ terhadap ketiadaan norma dalam UU Pemilu yang sedang diuji ini atau meminta pemerintah membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) atau meminta KPU membuat aturan supaya tetap memberlakukan syarat domisili dan non parpol dalam pendaftaran calon anggota DPD.
Dalam petitum perbaikan permohonannya, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 22C Ayat (1) dan Pasal 22E Ayat (4) UUD 1945; atau setidak-tidaknya menyatakan Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 22C Ayat (1) dan Pasal 22E Ayat (4) UUD 1945, sepanjang tidak mengandung syarat harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan dan bukan anggota dan/atau pengurus partai politik; atau menyatakan bahwa Pasal 12 huruf c UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 22C Ayat (1) dan Pasal 22E Ayat (4) UUD 1945; atau setidak-tidaknya menyatakan Pasal 12 huruf c UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 22C Ayat (1) dan Pasal 22E Ayat (4) UUD 1945, sepanjang tidak mengandung syarat harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan dan bukan anggota dan/atau pengurus partai politik.
Selama MK bersidang, Ketua MK mengakui bahwa permohonan para Pemohon perkara ini untuk melakukan perubahan atau penambahan norma oleh MK adalah hal baru dan pertama kali terjadi. âSekarang ini, posisinya adalah parlemen telah meniadakan norma sedangkan MK diminta membuat norma,â urai Jimly.
Terkait dengan antisipatory judicial review, Hakim Konstitusi, I Dewa Gede Palguna, meminta Pemohon memberikan argumentasi yang meyakinkan perihal persoalan tersebut yang tentunya berseberangan dengan hakikat MK yaitu sebagai negative legislator (berwenang menghilangkan norma red.), bukannya sebagai positive legislator (pembuat norma red.) sebagaimana menjadi wewenang parlemen. (Wiwik Budi Wasito)