Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU DKI) terhadap UUD 1945 pada Selasa (29/4) di ruang Sidang Panel Gedung MK. Sidang dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan ini dimohonkan oleh H. Biem Benjamin, Bsc., MM., yang berniat mengajukan diri sebagai calon walikota di wilayah Provinsi DKI Jakarta.
Ada beberapa pasal dalam UU Pemda dan UU DKI yang dimohonkan untuk diuji pada perkara dengan nomor registrasi 11/PUU-VI/2008 ini. Pasal-pasal tersebut adalah Pasal 227 ayat (2) UU Pemda serta Pasal 1 angka 10, angka 11, angka 12, Pasal 4, Pasal 7 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 8 ayat (1), Pasal 9 Ayat (1), Pasal 13 Ayat (1), Pasal 19 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4), Ayat (6), Ayat (7), dan Ayat (8), Pasal 20 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (4), Ayat (5), Ayat (6), Pasal 21 Ayat (3) dan Ayat (7), Pasal 22 Ayat (7) Pasal 23 Ayat (1) dan Ayat (2), dan Pasal 24 UU DKI.
Menurut Biem, pelaksanaan otonomi daerah di Provinsi DKI Jakarta seperti tertera pada pasal-pasal dalam kedua UU tersebut bertentangan dengan Pasal 18 serta Pasal 18B UUD 1945. Ia juga menganggap pasal-pasal tersebut telah merugikan hak konstitusionalnya untuk memilih dan dipilih sebagai walikota di wilayah DKI Jakarta. Selain itu, Biem juga menyatakan bahwa pelaksanaan otonomi di DKI Jakarta ini merupakan suatu kemunduran.
âDulu, semua kotamadya di Indonesia bersifat kota administratif. Kemudian sejak UU Otonomi Daerah disahkan, kota-kota administratif tersebut berubah menjadi kota. Tapi kok, sekarang sistem pemerintahan daerah di DKI ini sistemnya seperti kota administratif. Ini kan, kemunduran,â ujar pria yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah asal DKI Jakarta ini.
Untuk itu, Biem memohon kepada MK untuk mengabulkan permohonannya dengan amar putusan yang memerintahkan kepada instansi terkait untuk melaksanakan putusan MK pada Pemilu tahun 2009 dan Pilkada di Provinsi DKI Jakarta periode selanjutnya.
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Laica Marzuki mengatakan diktum demikian tidaklah perlu. âPutusan MK bersifat deklarator, final , dan mengikat,â ucap Hakim Konstitusi Laica.
Hal yang sama juga dikatakan Hakim Konstitusi Mahfud MD yang menyatakan bahwa MK hanya menjalankan fungsi pengujian, bukan mengatur. Dengan demikian diktum seperti tersebut di atas tidak perlu disertakan.
Seusai persidangan, menanggapi pertanyaan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan yang bertindak sebagai Ketua Majelis Hakim Panel mengenai begitu banyaknya pasal dalam UU DKI yang dipermasalahkan dalam permohonan ini, Biem menerangkan, inti permohonannya adalah menguji Pasal 227 Ayat (2) UU Pemda yang menetapkan otonomi di Provinsi DKI Jakarta hanya diletakkan pada tingkat Provinsi karena kekhususannya sebagai Ibukota Negara, dan Pasal 19 Ayat (2) UU DKI yang menetapkan bahwa walikota dan bupati di wilayah DKI Jakarta diangkat oleh Gubernur atas pertimbangan DPRD Provinsi. Padahal, lanjutnya, undang-undang daerah khusus dan istimewa lain seperti Nangroe Aceh Darussalam, Yogyakarta, dan Papua tidak seperti itu.
Di samping itu, Biem juga menjelaskan bahwa sebagai anggota DPD dirinya sudah pernah mengusulkan revisi UU DKI ini pada DPR. Namun DPR tidak menanggapinya. âKarena itulah kemudian saya mengajukan judicial review ke MK,â pungkas putra seniman Betawi Benyamin S. (alm.) ini.[Kencana Suluh Hikmah]