JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi/DPRA, DPRD Kabupaten/Kota/DPRK (PHPU DPR/DPRA/DPRK) di Provinsi Daerah Istimewa Aceh pada Daerah Pemilihan (Dapil) Aceh 2 dan Dapil Pidie Jaya 1 pada Selasa (30/4/2024) di Ruang Sidang Panel 3 MK. Sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 153-01-12-01/PHPU.DPR-DPRD-XXII/2024 dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, didampingi oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Pemohon dalam perkara ini adalah Partai Amanat Nasional (PAN) yang diwakili oleh Zulkifli Hasan dan Eddy Soeparno sebagai Ketua Umum PAN dan Sekretaris Jenderal PAN. Pemohon, melalui kuasanya, Julianto Asis, mendalilkan selisih perolehan suara anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Provinsi Aceh, Daerah Pemilihan Aceh 2 meliputi Kabupaten Pidie dan Kabupaten Pidie Jaya. Menurut Pemohon, seharusnya suara Pemohon di daerah yang dimaksud adalah 24.413 suara. Namun, suara yang ditetapkan oleh Termohon (Komisi Pemilihan Umum/KPU) adalah sebesar 24.284 suara.
Selisih perhitungan perolehan suara Pemohon dan Termohon pada Dapil Aceh 2 disebabkan karena terjadinya pengurangan suara Pemohon diikuti dengan penambahan suara Partai Persatuan Pembangunan (PPP). PPP yang seharusnya memperoleh 24.362 suara, menjadi memperoleh 25.348 suara. Pengurangan dan penambahan tersebut terjadi dikarenakan Termohon tidak mempedomani C.Hasil.
“Menurut Termohon, Pemohon itu mendapatkan suara 24.284 sedangkan menurut Pemohon itu 24.413 suara jadi ada selisih 129 suara. Selanjutnya untuk Partai Persatuan Pembangunan menurut Termohon itu 25.348 suara Sedangkan menurut Pemohon itu 24.362 suara atau ada penambahan 986 suara,” ujar Julianto Asis.
Menurut Pemohon, dengan adanya penghitungan yang dilakukan Termohon dengan mengurangkan suara Pemohon dan penambahan suara PPP untuk pengisian anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Provinsi Aceh Dapil Aceh 2 telah merugikan Pemohon karena harus kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kursi untuk pengisian anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Provinsi Aceh Dapil Aceh 2.
Selisih Suara di Dapil Pidie Jaya 1
Selain itu, dalam permohonannya, Pemohon juga mempersoalkan selisih suara untuk pemilihan calon anggota DPRK Kabupaten Pidie Jaya, Daerah Pemilihan Pidie Jaya 1 meliputi Kecamatan Meurah Dua, Kecamatan Meurah Dua dan Kecamatan Ulim.
Pemohon menjelaskan bahwa seharusnya untuk pemilihan calon anggota DPRK Kabupaten Pidie Jaya, Daerah Pemilihan Pidie Jaya 1, Pemohon memperoleh 2.336 suara. Namun oleh Termohon, suara Pemohon yang ditetapkan adalah sejumlah 2.218 suara.
“Ada selisih suara yang menurut perhitungan kami bahwa seharusnya Pemohon atau Partai Amanat Nasional menurut termohon itu 2.218 suara. Sementara menurut Pemohon, seharusnya 2.336 suara atau ada selisih pengurangan 118 suara,” ungkap Julianto Asis.
Permasalahan yang terjadi pada Dapil Pidie Jaya 1 adalah terdapat penambahan suara pada Dapil Pidie Jaya 1 untuk perolehan suara DPRK di Kabupaten Pidie Jaya, Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang dilakukan oleh Termohon sebagaimana perolehan suara pada data Model D.HASIL KABUPATEN/KOTADPRD KABKO (D.HASIL), sehingga akibat penambahan tersebut menimbulkan kerugian bagi Pemohon dan menguntungkan bagi Partai Aceh.
Partai Aceh berdasarkan versi Termohon yang terjadi perubahan sangat signifikan jika dibandingkan dengan perolehan suara versi Pemohon berdasarkan Model Form C.HASIL SALINAN KABKO, yaitu dari 14.588 suara yang sebenarnya menjadi 17.032 suara, atau terdapat penambahan sebesar 2.444 suara.
“Partai Aceh itu ada penambahan dimana menurut termohon suara Partai Aceh itu 17.032 suara, sementara menurut Pemohon Partai Aceh itu seharusnya mendapatkan 14.588 suara atau penambahan 2.444 suara,” kata Julianto Asis.
Pemohon menyebut kesalahan pendataan tersebut terlihat dengan adanya perbedaan perolehan suara ketika dipersandingkan antara C.Hasil/C.Hasil Salinan dan D.Hasil. Hal ini dapat terjadi karena ketika pelaksanaan rekapitulasi di tingkat Kecamatan oleh PPK Kecamatan tidak dilaksanakan dengan benar dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 393 ayat (3) Undang-Undang No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yaitu bahwa perhitungan rekapitulasi dilakukan dengan membuka kotak suara tersegel dengan berdasarkan data berita acara pemungutan suara dan sertifikat hasil pemungutan suara Model C.Hasil yang berasal dari kotak suara tersegel.
Lebih lanjut, dalam permohonannya, Pemohon menyebut bahwa PPK dalam melakukan rekapitulasi tidak secara keseluruhan melaksanakan dengan berdasarkan C.Hasil yang berasal dari kotak suara tersegel, melainkan terdapat juga dengan berdasarkan dari C.Hasil Salinan yang dimiliki saksi dari perwakilan partai politik.
Atas dasar dalil yang disampaikan, pemohon meminta MK untuk mengabulkan seluruh permohonan pemohon, membatalkan Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024, dan menetapkan hasil perolehan suara yang benar menurut Pemohon.(*)
Penulis: Adam Ilyas
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina