JAKARTA, HUMAS MKRI – Pasal 228 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) berkaitan dengan penegasan terhadap larangan bagi partai politik menerima imbalan dalam bentuk apapun. Sehingga, kekhawatiran Pemohon dengan tidak dimuatnya frasa “atau gabungan partai politik” dalam norma Pasal 228 UU Pemilu yang akan mengakibatkan tidak terlaksananya pemilu yang adil sesuai dengan prinsip kepastian hukum telah terakomodir dalam UU Pemilu.
Demikian pertimbangan hukum Mahkamah Perkara Nomor 18/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian Pasal 228 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Perkara ini diajukan oleh Otniel Raja Maruli Situmorang yang merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Internasional Batam.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, MK mempertimbangkan apabila dibaca dan dipahami secara saksama keseluruhan norma dalam UU 7/2017 yang merupakan bagian dari pengaturan Paragraf 2 mengenai “Pendaftaran Bakal Pasangan Presiden dan Wakil Presiden” tidak terdapat ketidaksesuaian sebagaimana didalilkan Pemohon. Sebab, pada Pasal 226 dan Pasal 229 UU Pemilu berkaitan dengan pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A UUD 1945.
Sementara itu, tidak digunakannya frasa “atau gabungan partai politik” dalam norma Pasal 228 UU Pemilu menurut Mahkamah ditujukan pada partai politik yang menjadi peserta pemilu, termasuk gabungan partai politik, termasuk dalam kaitannya dengan larangan menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan presiden dan wakil presiden. Dengan demikian, keberlakuan Pasal 228 UU Pemilu ditujukan bagi seluruh partai politik secara umum walaupun tanpa menyebutkan frasa “gabungan partai politik”. Sedangkan pada pasal-pasal lainnya dalam Paragraf 2 dimaksud, dirumuskan dengan frasa “atau gabungan partai politik” karena merupakan bagian dari pengaturan terkait dengan tahapan pendaftaran bakal pasangan presiden dan wakil presiden.
“Telah ternyata norma Pasal 228 UU Pemilu menjamin pemilu yang adil yang diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 dan memberikan jaminan kepastian hukum yang adil yang diatur Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, tidak sebagaimana yang didalilkan Pemohon. Dengan demikian, permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” ucap Enny.
Baca juga:
Menyoal Ketiadaan Larangan Aturan Sumber Keuangan Gabungan Parpol dalam Proses Pencalonan Presiden
Pemohon Perbaiki Permohonan Soal Ketiadaan Larangan Gabungan Parpol Terima Imbalan Pencalonan Capres
Sebelumnya, Pemohon menyampaikan ketentuan Pasal 228 UU Pemilu secara tegas melarang partai politik memberi atau menerima imbalan pada proses pencalonan presiden dan wakil presiden. Jika partai politik tersebut terbukti dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka partai politik tersebut dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya. Namun dari pasal sebelumnya dan sesudahnya, yakni Pasal 226 dan 229 UU Pemilu terdapat syarat yang harus dipenuhi oleh partai politik dan gabungan partai politik. Sementara pada Pasal 228 UU Pemilu yang diajukan pengujiannya ini, tidak mengikutsertakan gabungan partai politik. Sehingga Pemohon menilai Pasal 228 UU Pemilu tidak sejalan dengan pasal lainnya yang mensyaratkan soal penerimaan imbalan yang berakibat pada ketidakpastian hukum. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina