Sudah ada preseden. MK pernah menyurati Presiden terkait putusan judicial review UU Migas.
Berlarut-larutnya pembahasan RUU Pengadilan Tipikor mengkhawatirkan sejumlah pihak. Muncul kekhawatiran jika penyusun, Pemerintah dan DPR, tidak memenuhi tenggat tiga tahun yang diminta Mahkamah Konstitusi. Mahkamah meminta pembentuk undang-undang membuat payung hukum khusus Pengadilan Tipikor dalam kurun tiga tahun sejak putusan pengujian UU No. 30 Tahun 2002 diucapkan.
Masalahnya, putusan itu diucapkan pada 19 Desember 2006 silam. Itu berarti waktu penyusunan RUU Pengadilan Tipikor terus bergulir. âSebelum terbentuknya DPR dan Pemerintahan baru hasil Pemilu 2009, perbaikan undang-undang dimaksud sudah harus diselesaikan,â begitu amanat yang disampaikan Mahkamah Konstitusi dua tahun lalu. Hingga kini, draft RUU dimaksud belum rampung. DPR dan Pemerintah malah lebih disibukkan penyelesaian paket undang-undang politik.
Pengamat hukum tata negara Irmanputra Sidin mengusulkan agar Mahkamah Konstitusi segera melakukan constitutional activism, dengan cara menyurati DPR dan Presiden. Tujuannya mengingatkan Pemerintah dan DPR agar segera merampungkan pembahasan RUU Tipikor sesuai amanat putusan MK. Langkah semacam itu perlu dilakukan MK sebagai bentuk âpertanggungjawabanâ telah memutuskan tenggat waktu dimaksud. âMK harus mengawal putusannya,â kata Irman.
Langkah semacam itu bukan tanpa dasar. Sudah ada preseden sebelumnya, yakni ketika Ketua MK menyurati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait putusan judicial review UU Minyak dan Gas Bumi. Kala itu, ada kesan Pemerintah mengabaikan putusan MK karena tetap menaikkan harga BBM sesuai Perpres No. 55 Tahun 2005. Konsideran Perpres itu tetap mencantumkan pasal-pasal UU Migas yang telah dinyatakan MK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Usulan Irman tampaknya belum akan terlaksana dalam waktu dekat. Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa putusan MK sudah jelas. Bila dalam jangka waktu tiga tahun ke depan sejak putusan judicial review UU No. 30 Tahun 2002, pembentuk undang-undang tak kunjung merampungkan payung hukum Pengadilan Tipikor, bisa jadi Pengadilan ini akan almarhum. âItu kan sudah jelas,â ujarnya di Gedung MK, Kamis (24/4).
Meskipun sudah ada preseden, Jimly meminta agar kasus UU Migas dan RUU Pengadilan Tipikor tak dikait-kaitkan. Ia menganggap konteks kedua kasus berbeda. Pada saat UU Migas, Jimly merasa berkewajiban mengingatkan Presiden, siapa tahu lupa putusan MK ketika menerbitkan Perpres 55 tadi. Lalu, terkait dengan pembentukan pengadilan tipikor, apa yang harus diingatkan? Kalaupun misalnya usulan Irmanputra dijalankan, yang bisa dilakukan hanya mengingatkan tenggat waktu tiga tahun, sesuatu yang sudah jelas di dalam putusan. âSeandainya saya buat surat itu, isinya pasti mengingatkan batas waktu tiga tahun. Itu kan sudah jelas dalam putusan,â jelasnya.
Pilihan
Sejatinya, tidak ada paksaan bagi Pemerintah untuk menuruti tenggat waktu tiga tahun sebagaimana diamanatkan MK. Bisa jadi sifatnya hanya pilihan. Pembentuk undang-undang boleh memilih pengadilan tipikor atau pengadilan umum. Kalau tenggat waktu pembentukan payung hukum pengadilan tipikor diabaikan, otomatis semua perkara korupsi harus diadili di peradilan umum. Kalau Pemerintah dan DPR bisa merampungkan UU Pengadilan Tipikor, otomatis pengadilan yang terletak di Jalan Rasuna Said Jakarta Selatan itu masih tetap eksis. Menurut Jimly, ini masalah pilihan saja. Pilihan mana yang diambil pembentuk undang-undang tetap tak melanggar. âKedua pilihan itu, dua-duanya konstitusional,â ujar Jimly.
Berbicara secara pribadi, Jimly lebih setuju agar pembentuk undang-undang memilih pengadilan tipikor. âSupaya tidak menimbulkan keragu-raguan memberantas korupsi kan tidak ada salahnya memperkuat pengadilan tipikor menjadi pengadilan khusus,â ungkapnya. âSebagai pribadi, saya melihat itu lebih baik,â tambahnya.
Namun, Jimly mengaku tak bisa berbuat banyak bila pembentuk UU memilih berbeda pendapat dengannya. âKalau pembentuk UU sudah menjatuhkan pilihan untuk memperkuat pengadilan negeri dan meniadakan pengadilan tipikor, ya saya susah untuk ikut campur,â jelasnya. Semua memang kembali pada pilihan yang pernah ditawarkan oleh MK. Meski begitu, Jimly meminta semua pihak bersabar terhadap proses ini. âKan batas waktunya masih lama,â ujarnya. Mungkin saja pembentuk UU, akhirnya memilih menyempurnakan pengadilan tipikor. (Ali)
Sumber www.hukumonline.com
Foto www.google.co.id