JAKARTA HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan yang diajukan oleh seorang Jaksa aktif bernama Jovi Andrea Bachtiar. Pemohon melakukan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
“Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan Putusan Nomor 25/PUU-XXII/2024 dalam sidang yang digelar di MK, Rabu (20/03/2024).
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur, MK mengatakan, KUHAP lahir sebagai upaya untuk menempatkan prinsip dan asas yang akan diletakkan sebagai landasan dan pedoman dalam wilayah hukum acara (hukum formil) yang bersifat umum untuk mengatur tentang proses hukum dalam penanganan tindak pidana umum di Indonesia dalam rangka terwujudnya kodifikasi hukum. Oleh karena itu, dalam BAB XXI Ketentuan Peralihan KUHAP ditegaskan berkaitan dengan keberlakuan sementara ketentuan khusus acara pidana yang telah diatur dalam undang-undang tertentu sampai adanya perubahan atau pernyataan tidak berlaku lagi aturan khusus tersebut.
Pergeseran Pemberlakuan KUHAP
Secara faktual saat ini ada beberapa tindak pidana, khususnya tindak pidana khusus atau tertentu, justru diatur oleh undang-undang tersendiri yang berbeda-beda sesuai dengan jenis tindak pidananya. Hal ini menurut Mahkamah dapat diartikan bahwa pemberlakuan KUHAP secara natural telah mengalami pergeseran dengan adanya kebutuhan untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada lembaga penegak hukum lain selain Polri, yang antara lain hal tersebut disebabkan semakin berkembang dan kompleksnya tindak pidana yang tidak mungkin dapat ditangani sendiri oleh lembaga penegak hukum Polri.
Dengan demikian, sambung Ridwan, ketentuan khusus acara pidana dengan tiada pembatasan waktu keberlakuannya, hingga ketentuan khusus tersebut diubah atau dinyatakan tidak berlaku lagi sebagaimana yang termuat dalam BAB XXI Ketentuan Peralihan KUHAP menjadi kurang relevan lagi diberlakukan. Namun demikian, semangat untuk membangun prinsip diferensiasi fungsional sebagai karakter yang terdapat dalam KUHAP harus tetap dipertahankan. Sementara itu, ketiadaan pengaturan lebih lanjut terkait dengan ketentuan khusus acara pidana, khususnya kewenangan Jaksa untuk melakukan penyidikan sangat terkait erat dengan kebijakan hukum pembentuk undang-undang. Hal ini telah menjadi pendirian Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Nomor 28/PUU-XXI/2023.
Selain pertimbangan hukum tersebut di atas, Ridwan melanjutkan, berdasarkan asas lex specialis derogat legi generali yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generali), sehingga ketentuan yang bersifat umum dalam KUHAP dapat dikesampingkan oleh ketentuan yang bersifat khusus. Oleh karena itu, pengaturan mengenai kewenangan Jaksa untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu telah diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan merupakan lex specialis terhadap KUHAP. Hal tersebut telah ditegaskan oleh Mahkamah dalam pertimbangan hukum pada Sub-paragraf [3.16.2] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007.
Sehingga, berdasarkan kutipan pertimbangan hukum tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kewenangan bagi Jaksa untuk melakukan penyidikan yang merupakan ketentuan khusus acara pidana secara konstitusional dibenarkan keberadaannya sepanjang terbatas hanya pada tindak pidana tertentu/khusus berdasarkan undang-undang sebagaimana telah menjadi kebijakan hukum pembentuk undang-undang. Oleh karena itu, tidak menjadi relevan jika kewenangan penyidikan oleh Jaksa harus dipertegas ke dalam KUHAP sebagaimana dalil Pemohon yang menyatakan bahwa tidak dinyatakannya secara expressis verbis kewenangan Jaksa dalam melakukan tindak pidana tertentu dalam KUHAP dapat menimbulkan ketidakpastian hukum merupakan kekhawatiran Pemohon yang berlebihan.
“Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum,” ujar Ridwan.
Lebih lanjut Ridwan menyampaikan, berkenaan dengan persoalan inkonstitusionalitas Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP yang menurut Pemohon harus juga memuat kewenangan Jaksa dalam melakukan penyidikan tindak pidana tertentu, menurut Mahkamah, norma yang dipersoalkan oleh Pemohon merupakan ketentuan umum dalam KUHAP yang berkaitan dengan batasan pengertian atau definisi dari suatu kata maupun hal-hal yang bersifat umum. Norma yang terdapat dalam bagian ketentuan umum akan mendasari norma-norma berikutnya, sehingga perumusan serta pemaknaan terhadap norma dalam ketentuan umum harus dilakukan secara saksama karena hal tersebut terkait dengan ketentuan norma dasar dari suatu undang-undang serta haruslah bersifat umum.
Dengan demikian jika norma dalam ketentuan umum tersebut akan mengalami perubahan harus dipertimbangkan konsistensinya dengan pasal-pasal berikutnya yang memiliki keterkaitan. Sehingga perubahan tersebut tidak menimbulkan kerancuan bagi pasal-pasal yang terkait dengan norma dalam ketentuan umum tersebut.
Menurut MK, apabila dikaitkan dengan permohonan Pemohon yang meminta pemaknaan terhadap Pasal 1 angka 1 KUHAP dengan menambahkan frasa "Jaksa yang diberikan kewenangan khusus melakukan penyidikan perkara tertentu berdasarkan undang-undang" dan pemaknaan terhadap Pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP dengan menambahkan frasa "dan penyidik perkara tindak pidana tertentu serta wewenang lain berdasarkan undang-undang", hal demikian akan mempengaruhi struktur batang tubuh KUHAP khususnya pasal-pasal yang berhubungan dengan definisi kata "Penyidik" dan kata "Jaksa".
“Karena jika dirunut ke dalam pasal-pasal berikutnya yang terkait dengan pengertian kedua kata tersebut, maka pemaknaan terhadap Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP justru akan menimbulkan kerancuan makna dari norma pasal-pasal berikutnya tersebut,” tegasnya.
Baca juga:
Memperjelas Kewenangan Jaksa dalam Penyidikan Tipikor
Tren Multi Agensi dalam Penyidikan Tindak Pidana
Sebagai tambahan informasi, sebelumnya MK menggelar sidang perdana permohonan Nomor 25/PUU-XXII/2024 dalam perkara pengujian materiil KUHAP dan UU KPK terhadap UUD 1945, pada Selasa (13/2/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan diajukan oleh seorang Jaksa aktif bernama Jovi Andrea Bachtiar. Pemohon mengujikan Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 6 huruf a, dan Pasal 6 ayat (1) KUHAP dan Pasal 45 ayat (1) UU KPK.
Kuasa hukum Pemohon, Muhammad Ardi Langga, dalam persidangan menyampaikan adanya pertentangan dalam KUHAP dan UU Kejaksaan yang berpotensi besar dapat menimbulkan ketidakpastian hukum terkait kewenangan Jaksa melakukan penyidikan tindak pidana tertentu (khususnya tindak pidana korupsi).
Ardi pun menegaskan, pada intinya Pemohon ingin MK memperjelas kewenangan Jaksa melakukan penyidikan tindak pidana tertentu (khususnya tindak pidana korupsi) dalam KUHAP dan UU KPK supaya terdapat kepastian hukum dalam konsepsi negara hukum (rechtstaats) sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 1 angka 1 KUHAP bertentangan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak diartikan “Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa yang diberikan kewenangan khusus melakukan penyidikan perkara tertentu berdasarkan undang-undang, pegawai negeri sipil tertentu, atau pejabat lain yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.”
Pemohon juga meminta MK menyatakan Pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak diartikan “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.”
Kemudian, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 6 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak diartikan “Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa yang diberikan kewenangan khusus melakukan penyidikan perkara tertentu berdasarkan undang-undang, pegawai negeri sipil tertentu, atau pejabat lain yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.”
Selain itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 45 ayat (1) UU KPK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak diartikan, “Penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, pejabat Kepolisian Republik Indonesia, atau Jaksa.”
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Fauzan F.