JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat menerima permohonan pengujian mengenai aturan pembekuan partai politik (parpol) sebagaimana diatur dalam Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol), pada Rabu (20/3/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan Perkara Nomor 15/PUU-XXII/2024 ini dimohonkan oleh seorang mahasiswa bernama Teja Maulana Hakim.
“Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan Amar Putusan.
Dalam pertimbangan Hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, MK menyatakan bahwa terkait dengan syarat formil yang berkaitan dengan kualifikasi Pemohon dalam pengujian undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 1 ayat (1) UU MK, Pemohon dalam permohonannya telah mengkualifikasikan dirinya sebagai perorangan warga negara Indonesia yang merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Internasional Batam. Untuk membuktikannya, Pemohon telah menyampaikan bukti surat/tulisan berupa fotokopi e-KTP Pemohon [vide bukti P-3]. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, Pemohon telah memenuhi syarat formil terkait dengan kualifikasi Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia.
Selanjutnya, sambung Enny, terkait dengan syarat materiil yang berkaitan dengan ada atau tidaknya hak konstitusional Pemohon yang dirugikan (constitutional injury), Pemohon harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagaimana disebutkan dalam Paragraf [3.4] di atas secara kumulatif. “Oleh karenanya, Pemohon dalam pengujian undang- undang memiliki kewajiban untuk menjelaskan satu per satu persyaratan yang telah ditentukan tersebut yang secara umum dapat dibagi menjadi 2 (dua) unsur yaitu uraian mengenai adanya (i) hak dan/atau kewenangan konstitusional serta (ii) anggapan kerugian konstitusional yang diderita atau dialami oleh Pemohon. Berkenaan dengan unsur pertama, Pemohon telah menjelaskan perihal hak konstitusionalnya yang menurut Pemohon dianggap dirugikan dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian, yakni Pasal 28D ayat (1), Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945,” terang Enny.
Terhadap hak konstitusional yang didalilkan oleh Pemohon, Enny melanjutkan, Mahkamah menilai, alas hak konstitusional yang lebih tepat dan sejalan dengan keinginan dan tujuan permohonan Pemohon adalah Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 terkait dengan jaminan kepastian hukum yang adil. Sedangkan, Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 sebenarnya lebih merupakan pedoman dalam pelaksanaan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan memberikan kewajiban untuk menghormati HAM orang lain sehingga lebih cocok digunakan sebagai dasar pengujian pada bagian posita permohonan, bukan sebagai alas hak konstitusional pada bagian kedudukan hukum Pemohon. “Dengan demikian menurut Mahkamah, unsur pertama dari syarat materiil mengenai kedudukan hukum Pemohon telah terpenuhi,” tegasnya.
Lebih lanjut Enny menjelaskan, berkenaan dengan unsur adanya anggapan kerugian hak konstitusional untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum yang adil sebagaimana ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, uraian Pemohon justru mengenai proses seleksi jabatan publik oleh partai politik yang tidak efektif sehingga muncul anggota partai politik yang merupakan penyelenggara negara tersandung kasus tindak pidana korupsi.
“Terhadap uraian kedudukan hukum Pemohon demikian, Mahkamah menilai, uraian berkenaan dengan anggapan kerugian hak konstitusional yang dialami Pemohon tersebut tidak memiliki hubungan sebab akibat dengan berlakunya norma Pasal 40 ayat (2) huruf b, Pasal 48 ayat (2), dan ayat (3) UU 2/2008 karena Pemohon tidak dapat menunjukkan bahwa kerugian (injury) itu memang benar-benar dapat ditelusuri (traceable) hubungannya dengan pasal yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya. Mahkamah memahami dan mengapresiasi tujuan serta maksud baik Pemohon untuk selalu menjaga tegaknya hukum dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, akan tetapi Pemohon juga harus memahami asas yang berlaku universal dalam gugatan di pengadilan, yaitu point d'interet point d'action, tanpa kepentingan tidak ada suatu tindakan,” ujarnya.
Dalam konteks permohonan tersebut, Enny menyebut, Mahkamah tidak menemukan adanya keterkaitan antara uraian atau penjelasan Pemohon berkaitan dengan proses seleksi jabatan publik oleh partai politik yang tidak efektif sehingga muncul anggota partai politik yang merupakan penyelenggara negara tersandung kasus tindak pidana korupsi dengan berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon.
Terlebih lagi, apabila dikaitkan dengan kualifikasi Pemohon sebagai mahasiswa fakultas hukum (saja), menurut Mahkamah, tidak cukup meyakinkan adanya kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi sehingga tidak cukup terdapat hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Sehingga, berdasarkan pertimbangan hukum di atas, walaupun Pemohon telah menentukan kualifikasinya sebagai Pemohon dan telah menjelaskan adanya hak konstitusional yang dijamin dalam UUD 1945, akan tetapi Pemohon tidak cukup memiliki kerugian hak konstitusional yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya karena tidak memenuhi syarat-syarat kerugian konstitusional yang bersifat kumulatif sebagaimana yang dikehendaki dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 serta putusan-putusan selanjutnya. Dengan demikian, menurut Mahkamah, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan tersebut.
"Oleh karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon maka pokok permohonan tidak dipertimbangkan," sebut Enny.
Pendapat Berbeda
Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi a quo, Hakim Konstitusi Suhartoyo, Saldi Isra, dan Arsul Sani memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). “Pada pokoknya ketiga hakim dimaksud berpendapat bahwa pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai pemohon a quo. Oleh karena MK seharusnya mempertimbangkan pokok permohonan,” jelas Suhartoyo saat membacakan pendapat berbeda.
Sebelumnya, Pemohon dalam permohonannya mempersoalkan Pasal 48 ayat (2) UU Parpol yang menyatakan, “Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan sementara Partai Politik yang bersangkutan sesuai dengan tingkatannya oleh pengadilan negeri paling laman 1 (satu) tahun”. Serta Pasal 48 ayat (3) UU Parpol menyatakan, “Partai Politik yang telah dibekukan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan melakukan pelanggaran lagi terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dibubarkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi”.
Pemohon beralasan bahwa pembubaran partai politik melalui MK bersifat terbatas. Lebih lanjut, Pasal 40 ayat (2) UU Parpol dinilai Pemohon tidak menyatakan secara eksplisit mengenai pembubaran parpol dengan sebab anggota parpol yang memangku jabatan publik melakukan tindak pidana korupsi. Selain itu, Pemohon menyampaikan bahwa Pasal 40 ayat (2) khususnya kata “dan” pada kalimat “Partai Politik dilarang: a. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan; atau” menimbulkan masalah sehingga lebih tepat menggunakan kata “atau”. Dalam keyakinan Pemohon, kata “dan” pada pasal a quo akan lebih tepat digunakan pada permohonan pembubaran partai politik, bukan pembekuan.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar MK menyatakan Pasal 48 ayat (2) UU Parpol bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Terhadap Pasal 48 ayat (3) UU Parpol, Pemohon meminta MK agar menyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Partai Politik yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dibubarkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.” (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha