JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan dengan agenda mendengarkan permohonan pengujian materiil Pasal 11 huruf b Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) pada Rabu (20/3/2024). Perkara Nomor 39/PUU-XXII/2024 ini diajukan seorang mahasiswa semester IV Fakultas Hukum Universitas Pamulang, Muhammad Kahfi Andhika Bayu Adji.
Secara lengkap, Pasal 11 ayat 1 huruf b UU KPK menyatakan, “(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi yang: b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Pemohon mempersoalkan minimum nominal untuk pelaporan dan penegakan tindak pidana korupsi dalam ketentuan norma tersebut. Menurutnya, apabila masih terdapat minimum nominal untuk pelaporan dan penegakan tindak pidana korupsi, maka budaya warisan yang buruk akan terus tumbuh subur.
“Dalam penerapannya, pada pasal a quo terdapat batasan sehingga seolah-olah tindak pidana yang berada di bawah nominal pada pasal a quo merupakan tindakan yang dapat dibenarkan untuk Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan kewenangannya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga menurut pemohon hal tersebut menyebabkan vacuum iuris (kekosongan hukum) dan ketidakpastian hukum,” ujar Kahfi di depan Majelis Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Arsul Sani dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh di Ruang Sidang MK, Jakarta.
Menurut Pemohon, norma a quo pada sistem hukum Indonesia akan menimbulkan ketidakefektifan dalam penerapannya. Pada dasarnya, lanjut Kahfi, hukum itu tercipta terdiri dari norma-norma atau kaedah yang mengatur kehidupan dalam bernegara serta menjamin kepastian hukum, ketertiban umum, dan terciptanya keadilan. Hal tersebut terdapat kontradiksi terhadap Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” (equality before the law).
Pemohon pada intinya menginginkan minimum nominal untuk KPK dapat menindak praktik korupsi dihapuskan. Dalam petitumnya, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 11 huruf b UU Nomor 19 Tahun 2019 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan “menyangkut kerugian negara atau kepentingan umum.”
Di sisi lain, Majelis Hakim kompak memberikan nasehat kepada Pemohon berkaitan dengan tata cara penulisan permohonan, mulai dari penulisan perihal, penulisan pasal dan ayat dalam Undang-Undang, uraian kedudukan hukum Pemohon, kewenangan MK, alasan-alasan permohonan, hingga petitum. Saldi mengatakan, Pemohon seharusnya menjelaskan mengapa Pasal 11 huruf b UU KPK itu bertentangan dengan dasar pengujian yang digunakan.
“Karena yang akan kami nilai itu nanti adalah penjelasan Saudara itu untuk mengatakan mengapa ini bertentangan dengan pasal dalam konstitusi. Dan yang terpenting mengapa dia bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 kalau tidak dimaknai seperti yang Saudara minta,” jelas Saldi.
Sebelum menutup persidangan, Saldi mengingatkan, Pemohon memiliki waktu untuk perbaikan permohonan selama 14 hari sehingga berkas permohonan paling lambat diterima MK baik hardcopy maupun softcopy pada Selasa, 2 April 2024 pukul 09.00 WIB. (*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan