JAKARTA, HUMAS MKRI – Pembiayaan jenjang pendidikan dasar telah sesuai secara keseluruhan sebagai pelaksanaan kewajiban Pasal 31 ayat (2) dan ayat (4) UU Sisdiknas. Demikian disampaikan oleh Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Iwan Syahril dalam sidang uji Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang yang digelar secara luring tersebut dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Dikatakan Iwan, setelah Putusan MK Nomor 026/PUU-III/2005, Nomor 026/PUU-IV/2006, Nomor 24/PUU-V/2007, dan Nomor 13/PUU-VI/2008, yang secara keseluruhan merupakan putusan mengenai anggaran pendidikan, telah menjadi acuan dalam alokasi anggaran pendidikan.
“Setelah putusan-putusan MK a quo, Pemerintah dan DPR telah secara konsisten mempedomani putusan MK dimaksud dalam hal alokasi anggaran pendidikan, cara penghitungan dan komponen dari anggaran Pendidikan, termasuk Pendidikan dasar,” terang Iwan.
Menurut Iwan, Pemerintah perlu menegaskan telah dilakukan penyediaan sumber daya terbaik, semaksimal mungkin dan kemajuan berkelanjutan dalam anggaran pendidikan sesuai dengan UUD 1945. Pemerintah mempedomani prinsip yang ditetapkan MK dalam Putusan Nomor 97/PUU-XVI/2018. Mengenai dalil Pemohon yang menyatakan UU Sisdiknas telah menimbulkan multitafsir, ia menyebut, negara melalui institusi pembentuk peraturan perundang-undangan, mengakui keberadaan, dan peran serta masyarakat ini dalam sistem pendidikan nasional, termasuk dalam jenjang Pendidikan Dasar sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas.
“Sebelum Negara Republik Indonesia terbentuk, penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat merupakan fakta yang tidak terbantahkan dan hal ini merupakan wujud peran serta masyarakat yang tidak dapat dinegasikan. Negara melalui institusi pembentuk peraturan perundang-undangan, mengakui keberadaan dan peran serta masyarakat ini dalam sistem pendidikan nasional, termasuk dalam jenjang Pendidikan Dasar sebagaimana diatur dalam UU 20/2003,” tegas Iwan.
Pendanaan Pendidikan
Iwan juga menjelaskan, Pemerintah bersungguh-sungguh, semaksimal mungkin, dan berkomitmen untuk pemenuhan Anggaran Pendidikan 20% dari APBN, serta memastikan efektivitasnya, termasuk untuk membiayai pendidikan dasar. Selain APBN, pendanaan pendidikan juga dilakukan melalui APBD. Pendidikan merupakan salah satu urusan pemerintahan wajib terkait pelayanan dasar yang harus dilaksanakan pemerintah daerah dalam konteks otonomi daerah.
Pengaturan pendanaan pendidikan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintan Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Pendidikan (selanjutnya disebut PP 48/2008). Penjelasan mengenai biaya pendidikan, dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup biaya pendidikan tidak hanya biaya pribadi peserta didik, sehingga pengalokasian pembiayaan pendidikan dasar mempunyai ruang lingkup yang lebih luas.
Selain itu, mengenai pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat atau swasta, Iwan menerangkan, Pemerintah tentu memberikan apresiasi, dukungan dan juga pengawasan mutu. Jumlah sekolah swasta yang lebih banyak dari pada sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah merupakan bentuk nyata dari hak partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.
Penyelenggaraan Pendidikan dasar oleh masyarakat secara faktual telah eksis dengan berbagai macam bentuk badan penyelenggara Pendidikan, basis penyelenggaraan (seperti keagaamaan) dan juga terdapat pula satuan Pendidikan dasar yang menyelenggarakan model sekolah campuran dengan boarding, serta sekolah-sekolah berlabel internasional (satuan pendidikan kerja sama). Semua ragam ini memang berimplikasi besaran biaya pendidikan yang berbeda-beda. Maka dalam konteks demikian, kewajiban pembiayaan pendidikan dasar melalui pendanaan pendidikan mempunyai ketentuan sebagaimana diatur dalam PP Pendanaan Pendidikan.
“Kemudian, eksistensi satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan masyarakat (swasta), selain keterbatasan daya tampung sekolah negeri, juga merupakan hal yang secara empirik dan sosial merupakan pilihan bagi masyarakat atau peserta didik. Artinya pertimbangan tentang pilihan sekolah dan konsekuensi biaya merupakan hal yang telah dapat diterima oleh masyarakat. Kerelaan dan kemampuan peserta didik dalam pembiayaan pendidiikan khususya pada sekolah swasta juga merupakan bentuk dari partisipasi. Sehingga dalam hal ini terdapat praktik bahwa pada sekolah-sekolah tertentu menyatakan tidak bersedia menerima pendanaan pendidikan dari Pemerintah. Dalam hal ini misalnya terdapat sekolah yang menyatakan tidak menerima Bantuan Operasional Sekolah,” tegasnya.
Dalam sidang tersebut, Pemohon menghadirkan Ahli, yakni Peneliti Anggaran Badi’ul Hadi. Ia menyampaikan reformasi membawa arah perubahan tata kelola pemerintahan Indonesia termasuk tata kelola anggaran baik itu Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi dan Kabupaten/Kota. Ia menerangkan, Pasal 31 UUD 1945 secara eksplisit mengatur beberapa kewajiban pemerintah terkait pendidikan, yaitu membiayai pendidikan dasar, mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta APBD, serta memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Menurut Hadi, ketentuan Pasal 31 UUD 1945 ini menegaskan bahwa Pemerintah baik pusat maupun daerah berkewajiban memberikan layanan, menjamin terselenggaranyan pendidikan yang bermutu dan mudah bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi termasuk dalam hal pembiayaan pendidikan. Karena itu, negara harus menyediakan sumber daya anggaran yang cukup terutama untuk membiayai pendidikan dasar.
Anggaran Belanja Fungsi Pendidikan adalah alokasi belanja fungsi pendidikan yang dianggarkan dalam APBN untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung jawab pemerintah, termasuk gaji pendidik, namun tidak termasuk anggaran pendidikan kedinasan. Kebijakan alokasi anggaran 20% pendidikan juga merupakan upaya implementasi sila kelima Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila ini menegaskan, semua rakyat memiliki hak yang sama atas hasil pengelolaan sumber daya dalam hal ini untuk mendapatkan pelayanan pendidikan yang baik dan berkualitas.
Hadi pun memandang perlunya dilakukan pengkajian ulang atas pelaksanaan kebijakan alokasi anggaran 20% dari APBN maupun APBD untuk memastikan bahwa alokasi anggaran betul-betul digunakan untuk penyelenggaraan pendidikan. Dikeluarkannya pembiayaan-pembiayaan lain, seperti gaji pendidik dari pos belanja anggaran pendidikan.
Pada kesempatan yang sama, MK juga mendengarkan dua saksi, yakni Juwono dan Mirnawati. Keduanya menyampaikan mengalami kendala dan hambatan dalam membiayai pendidikan anak mereka pada jenjang sekolah menengah pertama atau SMP.
“Bermula dari gagalnya anak saya masuk sekolah SMP Negeri Tahun Ajaran 2013/2014 disebabkan nilai ujian Sekolah Dasar nya rendah. Daya tampung sekolah negeri yang terbatas dengan jumlah lulusan sekolah Dasar serta tingginya nilai penentu yang di ‘patok’ oleh tiap sekolah. Pada akhirnya, membuat anaknya yang nilainya kecil tidak bisa diterima sekolah negeri yang ada di kotamadya tempat domisilinya demi anak bisa bersekolah mencari sekolah swasta berbiaya murah,” jelas Juwono.
Baca juga:
JPPI Minta Pendidikan Dasar Sekolah Swasta Bebas Biaya
JPPI Tambahkan Perbandingan Sekolah Dasar Swasta Gratis dari Berbagai Negara DPR: Negara Tetap Butuh Peran Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Sebagai tambahan informasi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) diuji secara materiil ke MK. Permohonan perkara Nomor 3/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) atau (Network Education Watch Indonesia/New Indonesia) bersama tiga Pemohon perorangan yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum.
Para Pemohon menguji norma Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas sepanjang frasa “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Selengkapnya Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas menyatakan, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.”
Dalam sidang dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan yang digelar di MK pada Selasa (23/1/2024), para Pemohon menyatakan bahwa frasa tersebut multitafsir, karena hanya pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah negeri yang tidak dipungut biaya. Pemohon mendalilkan jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya hanya dilakukan di sekolah negeri. Sedangkan jenjang pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah swasta tetap dipungut biaya. Sehingga Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas sepanjang frasa “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini merupakan bentuk diskriminasi pendidikan.
Untuk itu, dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas sepanjang frasa “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”, inkonstitusional secara bersyarat dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah negeri maupun sekolah swasta tanpa memungut biaya”.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha