JAKARTA, HUMAS MKRI - Tsania Marwa, seorang pelakon dan model, menjadi saksi dalam sidang uji Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1946 (KUHP 1946), pada Senin (18/3/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Tsania menyampaikan kesaksian sebagai ibu dari dua anak yang diambil oleh mantan suaminya.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo, Tsania menceritakan bahwa ia merupakan seorang ibu dari dua anak berinisial SMF yang saat ini berusia 10 tahun dan AS berusia 9 tahun. Tsania telah bercerai dengan suaminya. Pengadilan telah memutuskan hak asuh anak kepadanya.
“Saya telah bercerai dan memegang hak asuh anak,” kata Tsania dalam persidangan.
Sangat menyedihkan, putusan pengadilan menyatakan ia pemegang hak asuh dari kedua anaknya, namun pada kenyataannya hingga saat ini ia dan kedua anaknya terpisahkan dikarenakan tertutupnya akses dari pihak mantan suaminya.
“Hingga akhirnya pada tanggal 29 April 2021, saya dan Pengadilan Agama Cibinong melakukan eksekusi putusan hak asuh anak yang sudah berkekuatan hukum tetap. Namun, pengadilan agama Cibinong menyatakan eksekusi tersebut gagal dikarenakan pihak termohon eksekusi tidak mau mengikuti putusan hak asuh anak dan mempersulit proses eksekusi tersebut,” jelas Tsania.
Tsania juga menerangkan, sampai detik ini, ia terpisahkan dengan kedua anaknya selama tujuh tahun. Ia merasa sangat dirugikan karena selama berproses hukum harus mengeluarkan biaya untuk pendampingan hukum, biaya-biaya leges, dan biaya konsultasi lainnya.
“Kesedihan yang luar biasa, saya merasa tidak mendapat keadilan dari putusan hak asuh berkekuatan hukum tetap, dan yang paling utama saya sebagai ibu yang mencintai kedua anak saya tidak mengetahui bagaimana perkembangan mereka, dan tentunya mereka kehilangan sosok ibu kandung yang dari awal hamil saya jaga dan saya mencintai sepenuh jiwa hingga akhir hayat saya,” lanjut Tsania.
Merasa tidak mendapat keadilan, kisah Tsania, akhirnya ia berusaha mencari pertolongan dan berkonsultasi ke salah satu penyidik di Bareskrim Polri Unit PPA terkait dengan peristiwa yang dialami. Ia menayakan terkait penerapan dan pandangan hukum penyidik terkait pasal penculikan anak yaitu pasal 330 KUHP. Menurut Tsania, saat itu penyidik hanya menjelaskan bahwa jika yang membawa kabur salah satu orang tua, baik pemegang hak asuh ataupun non pemegang hak asuh, tidak dapat diterapkan pasal 330 KUHP dikarenakan masih memegang status orang tuanya.
“Saya saat itu sungguh dalam kondisi bingung mencari tempat untuk bisa mendapat keadilan di negara ini. Banyak masukan dari pengacara bahwa pasal 330 KUHP bisa diimplementasikan. Namun faktanya justru tidak dapat diterapkan di aparat penegak hukum. Di mana keadilan ini...?” kesah Tsania.
Baca juga:
Perjuangkan Hak Asuh, Lima Ibu Persoalkan Penculikan Anak oleh Mantan Suami
Lima Ibu Perbaiki Uji KUHP Soal Penculikan Anak oleh Mantan Suami
Pemerintah Belum Siap Beri Keterangan Soal Penculikan Anak oleh Mantan Suami
Penjelasan Pemerintah dan DPR Ihwal Penculikan Anak oleh Mantan Suami
Sebagai tambahan informasi, permohonan dengan Nomor 140/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh lima ibu, yakni Aelyn Halim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani. Kelima Pemohon merupakan para ibu yang sedang memperjuangkan hak asuh anak. Para Pemohon menguji frasa “Barangsiapa” dalam Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1946 (KUHP 1946).
Selengkapnya Pasal 330 ayat (1) KUHP menyatakan, “Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.
Dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Kamis (2/11/2023), kuasa Pemohon, Virza Roy Hizzal mengatakan para Pemohon seluruhnya memiliki kesamaan, yakni setelah bercerai dengan suaminya, memiliki hak asuh anak. Namun, saat ini tidak mendapat hak tersebut karena mantan suaminya mengambil anak mereka secara paksa. Misalnya yang dialami Aelyn Halim. Ia mengaku tidak mengetahui di mana putrinya yang bernama Arthalia Gabrielle itu berada, karena telah disembunyikan oleh mantan suaminya. Peristiwa ini bermula pada 15 Agustus 2020, pada saat Arthalia berusia 2 tahun 8 bulan. Mantan suami Aelyn yang juga ayah kandung Arthalia itu, mengambil Arthalia saat Aelyn sedang beraktivitas di luar rumah.
Selanjutnya Aelyn melaporkan peristiwa tersebut ke pihak kepolisian. Namun, laporan Aelyn tidak diterima dengan alasan yang membawa kabur adalah ayah kandungnya.
Virza menyebut negara harus hadir ketika terjadi pelanggaran terhadap hak-hak anak. Perbuatan memisahkan dan menutup akses anak dengan orang tuanya berdampak buruk bagi tumbuh kembang anak bukanlah ranah hukum privat melainkan telah memasuki ranah publik dalam hal ini hukum pidana.
Menurut para Pemohon, frasa “Barang siapa” dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP sudah sepatutnya diberlakukan bagi setiap orang termasuk Ayah atau Ibu kandung dari anak, sebagai subjek hukum. Tidak boleh ada pengecualian yang memberikan kekuasaan dan kewenangan mutlak bagi Ayah atau Ibu jika sampai terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak anak sehingga tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya. Pemenuhan hak-hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia di mana terdapat peran dan tanggung jawab negara memberikan perlindungan, pengawasan serta penegakan hukum guna tercapainya kesejahteraan bagi anak. Oleh karenanya negara berwenang melakukan penindakan terhadap orang tua yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak anak.
Dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan frasa “Barangsiapa” dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP yang berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch - Indie (Staatsblad 1915 Nomor 732), yang kemudian berlaku berdasarkan UU 1/1946 tentang Peratoeran Hoekoem Pidana jo. UU 73/1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Setiap orang tanpa terkecuali Ayah atau Ibu kandung dari anak.”
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.