JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang terhadap permohonan PT Adora Bakti Bangsa (Pemohon I), PT Central Java Makmur Jaya (Pemohon II), PT Gan Wan Solo (Pemohon III), dan PT Juma Berlian Exim (Pemohon IV) pada Kamis (14/3/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang kedua Perkara Nomor 33/PUU-XXII/2024 yang menguji materill Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak ini dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi Arsul Sani.
Timbul Siahaan selaku kuasa hukum menyebutkan beberapa bagian yang telah dilakukan pihaknya. Perbaikan tersebut, yakni Pemohon yang awalnya berjumlah 4 perusahaan menjadi 3 perusahaan, yakni PT Central Java Makmur Jaya (Pemohon I), PT Gan Wan Solo (Pemohon II), dan PT Juma Berlian Exim (Pemohon III). Kemudian para Pemohon telah menguraikan secara baik kedudukan hukum direktur dan direktur utama, sehingga yang berhak mewakili badan hukum di dalam dan luar pengadilan serta dokumen pendukungnya telah disertakan pada permohonan terbaru.
“Kemudian kami telah memperjelas kerugian konstitusional para Pemohon dan alasan permohonan dengan menambahkan teori legalitas dan pelaksanaan dalam praktiknya tentang pemungutan perpajakan dari negara-negara Eropa. Selanjutnya para Pemohon juga menjabarkan uraian tentang pertentangan pasal aquo dengan UUD 1945 yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum,” sebut Timbul.
Dalam Sidang Pendahuluan pada Kamis (29/2/2024) lalu, para Pemohon menyebutkan telah pernah melakukan upaya hukum dan Pengadilan Pajak dalam putusannya dirasa kurang adil. Sebagai ilustrasi, pada permohonan dituliskan beberapa perkara hukum yang dialami pihaknya. Misalnya Pemohon I sebagai wajib pajak badan yang pernah mengajukan penghapusan sanksi administrasi dan pembatalan terhadap surat tagihan pajak, namun ditolak oleh Pengadilan dengan pertimbangan hukum yang menyandarkan pada Peraturan Menteri Keuangan. Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan penolakan tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 78 UU Pengadilan Pajak. Para hakimnya menilai PMK tersebut merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan.
Demikian juga dengan perkara hukum yang dialami oleh Pemohon IV yang pernah mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak, yang pada pokoknya menggugat surat tagihan pajak pertambahan nilai barang dan jasa. Dalam putusan dan pertimbangan hukum majelis hakim disebutkan menyandarkan penolakan gugatan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Berdasarkan fakta hukum yang dialami tersebut, para Pemohon telah mengalami ketidakpastian hukum. Menurutnya putusan pengadilan pajak tersebut dalam mengadili sengketa perpajakan harus berdasarkan undang-undang dan bukan pada peraturan perundang-undangan.
Untuk itu, para Pemohon mengajukan Petitum kepada Mahkamah agar menyatakan frasa ‘peraturan perundang-undangan’ dalam Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai undang-undang. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan