JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan Perkara Nomor 87/PUUXX/2023 yang diajukan oleh Gugum Ridho Putra (Pemohon) pada Kamis (14/3/2024). Sidang kedelapan dari uji materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ini dilaksanakan di Ruang Sidang Pleno MK. Mahkamah Agung (MA) dan Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) dalam sidang hari ini menyampaikan keterangan dari Pihak Terkait serta Bambang Suheryadi sebagai Ahli yang dihadirkan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dalam perkara ini.
Riki Perdana Raya Waruwu dari Mahkamah Agung menyebutkan pada Pasal 16 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menunjukkan adanya kebutuhan praktik terhadap penanganan tindak pidana yang dilakukan bersama-sama antara pelaku yang termasuk subjek peradilan umum dan peradilan militer yang diadili dan diperiksa di peradilan umum. Namun dalam keadaan tertentu atas dasar Keputusan Ketua MA, suatu perkara diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Hal ini, lanjutnya, selaras dengan kedudukan MA sebagai peradilan negara tertinggi, yang normanya termuat pada Pasal 20 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman. Keputusan Ketua Mahkamah Agung menjadi penentu kompetensi peradilan, sedangkan kedudukan TNI dan KPK setara dalam penyelidikan/penyidikan secara profesional yang dilakukan dengan jalur koordinasi sesuai dengan kewenangan masing-masing instansi.
“Sehubungan dengan ketentuan penyelesaian perkara korupsi dengan sistem koneksitas yang berada di lingkungan peradilan militer dan umum, tidak terjadi kekosongan hukum untuk menyidik, menuntut, dan membawa perkara ke persidangan. Sebab, mekanismenya telah diatur secara detail dalam hukum acara pidana pada bab koneksitas. Sehingga, tidak kendala yuridis dalam pemeriksaan perkara koneksitas di MA,“ jelas Riki yang merupakan Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung.
Kewenangan “Mengendalikan”
Kemudian Ichsan Zikry dari PJI menyebutkan sebelum perubahan Undang-Undang KPK dalam Pasal 21 ayat (4) diatur mengenai keberadaan Pimpinan KPK merupakan penyidik dan penuntut umum. Konsekuensinya, pimpinan KPK memiliki kewenangan untuk mengendalikan perkara yang dimiliki oleh Kejaksaan, selaku instansi yang bertugas menjalankan fungsi penuntutan. Akan tetapi, setelah perubahan, maka Pimpinan KPK tidak lagi berstatus sebagai penuntut umum. Sehingga kewenangan “mengendalikan” dalam Pasal 42 UU KPK tersebut praktis tidak lagi dapat dilaksanakan.
Hal yang perlu diperhatikan, sambung Ichsan, meskipun kewenangan “mengendalikan” dalam Pasal 42 UU KPK secara teknis tidak dapat dilaksanakan, tidak menyebabkan fungsi pengendalian penanganan perkara tindak pidana korupsi koneksitas menjadi vakum. Karena dalam Pasal 35 ayat (1) huruf g UU Kejaksaan dan Perubahannya, telah diatur tugas mengoordinasikan, mengendalikan, dan melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara koneksitas berada pada Jaksa Agung.
“Dengan demikian, ketentuan Pasal 35 ayat (1) huruf g UU Kejaksaan tersebut pada dasarnya sejalan dengan Pasal 12A UU KPK, yang mengatur dalam melaksanakan tugas penuntutan, penuntut umum pada KPK melaksanakan koordinasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang tertuang dalam Undang-Undang Kejaksaan,” terang Ichsan.
Pemberian Makna Sesuai Perkembangan
Sementara Bambang Suheryadi sebagai Ahli yang dihadirkan KPK bahwa kekuasaan penegakkan hukum pidana meliputi kekuasaan di bidang penyidikan, penuntutan, memeriksa/mengadili dan pelaksanaan pidana. Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK merupakan lembaga penegak hukum yang mempunyai wewenang berdasarkan undang-undang. Penanganan secara terpisah dalam dua sistem peradilan, sedangkan tindak pidana korupsi dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer, maka apabila dilaksanakan dengan kerja sama yang baik terpadu antarpenegak hukum, maka akan terpenuhi asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan serta terpenuhinya tujuan penegakan hukum pidana yaitu untuk mencari kebenaran materiil.
Untuk kepastian hukum, frasa-frasa dalam KUHAP dan UU Peradilan militer yang mengatur koneksitas tersebut perlu diberikan makna sesuai dengan perkembangan, karena adanya undang-undang baru dan lembaga penegak hukum yang baru. KUHAP dan UU Peradilan Militer merupakan hukum formil yang mengatur tentang wewenang dan penggunaannya oleh penegak hukum. Pengaturan dan penggunaan wewenang tidak semata-mata menyoal pembagian wewenang dalam instasi yang terlibat dalam penanganan perkara pidana.
“Namun demikian yang paling penting adalah di satu sisi norma ini membatasi penggunaan wewenang, dan pada sisi lain dengan pembatasan tersebut hak-hak tersangka dan terdakwa dilindungi. Jadi, inilah urgensi perlunya memberikan makna baru demi kepastian hukum dan perlindungan hak hak tersangka serta terdakwa,” jelas Pakar Hukum yang berasal dari Universitas Airlangga tersebut.
Baca juga:
Memperkuat Kewenangan KPK dalam Penyidikan Tipikor Koneksitas
Pemohon Uji UU KPK Ubah Kedudukan Hukum
MK Tunda Sidang Uji Kewenangan Penyidikan Tindak Pidana Koneksitas
KPK Jelaskan Perbedaan Metode Splitzing dan Mekanisme Koneksitas dalam Penanganan Korupsi
Ahli : Koordinasi Kejaksaan, Peradilan Militer, dan KPK dalam Selesaikan Perkara Korupsi
Sebagai tambahan informasi, Perkara Nomor 87/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Gugum Ridho Putra (Pemohon). Pemohon mengujikan secara materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap UUD 1945.
Pemohon menguji Pasal 42 UU KPK. Kemudian kata “Penyidik” pada ketentuan Pasal 89 ayat (2), frasa kata “Menteri Kehakiman” pada Ketentuan Pasal 89 ayat (1), Pasal 89 ayat (3), Pasal 91 ayat (2) dan Pasal 94 ayat (5), frasa kata “jaksa atau jaksa tinggi” pada ketentuan Pasal 90 ayat (1), ketentuan Pasal 90 ayat (3), Pasal 91 ayat (1), dan Pasal 91 ayat (3), frasa kata “jaksa tinggi” pada ketentuan Pasal 93 ayat (1), frasa kata “Jaksa Agung” pada ketentuan Pasal 90 ayat (3), Pasal 93 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), frasa kata “Penuntut Umum” pada ketentuan Pasal 91 ayat (1), Pasal 92 ayat (1), dan Pasal 93 ayat (1) KUHAP.
Pemohon menyebut kerugiannya terkait kewenangan penyidikan tindak pidana koneksitas atau tindak pidana yang melibatkan pihak-pihak dari kalangan sipil maupun kalangan militer pada saat bersamaan khususnya untuk tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK. Pemohon mencermati penanganan perkara-perkara korupsi yang mengandung koneksitas di KPK lebih condong mengedepankan penghukuman kepada pelaku dari kalangan sipil saja. Pemohon meyakini, ketidakprofesionalan KPK menangani perkara koneksitas itu disebabkan oleh ketidakjelasan norma-norma yang mengatur penyidikan dan penuntutan tindak pidana koneksitas.
Oleh karena itu, Pemohon dalam petitumnya meminta MK menyatakan UU KPK dan KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Antara lain yaitu frasa kata “mengkoordinasikan dan mengendalikan” pada Ketentuan Pasal 42 UU KPK dimaknai KPK RI wajib mengkoordinasikan dan mengendalikan penanganan perkara tindak pidana korupsi koneksitas sesuai Ketentuan Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 KUHAP. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan