JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan uji materiil konstitusionalitas Pasal 43L ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (UU Terorisme) pada Selasa (5/3/2024). Sidang keenam perkara yang diajukan oleh Peria Ronald Pidu (Pemohon I), Mulyadi Taufik Hidayat (Pemohon II), dan Febri Bagus Kuncoro (Pemohon III) ini beragendakan mendengarkan keterangan dari BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) dan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) selaku Pihak Terkait serta Saksi dari Pemohon.
Terhadap permohonan Perkara Nomor 103/PUU-XXI/2023 ini, Imam Margono dari BNPT menjabarkan bahwa pihaknya melakukan verifikasi kesesuaian antara hasil pemetaan BNPT terhadap korban tindak pidana terorisme untuk memastikan kelayakan Pemohon sebagai korban. Setelah lengkap, BNPT akan mengundang para Pemohon untuk dilakukan wawancara. Tahap ini kemudian yang menjadi penentu diterima atau ditolaknya permohonan penetapan korban. Kemudian, BNPT menerbitkan Surat Penetapan Korban atau Surat Penolakan Penetapan korban. Selanjutnya, salinan surat ini menjadi pedoman bagi LPSK untuk tindak lanjut berikutnya.
“Penyusunan dan pengesahan ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengajuan permohonan hak korban ini diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018. Sehingga negara hanya memiliki waktu kurang dari satu tahun untuk melaksanakan identifikasi, verifikasi, dan penilaian terhadap korban tindak pidana terorisme masa lalu sebagai dasar penerbitan surat terebut oleh BNPT,” jelas Imam.
Pemenuhan Hak Korban
Berikutnya Susilaningtias dari LPSK menceritakan bagaimana upaya pemenuhan hak kepada korban. Setelah ditetapkannya Peraturan LPSK Nomor 7 Tahun 2020 tersebut, LPSK melakukan sosialisasi baik secara langsung bertemu dengan para korban maupun melalui media massa dan media sosial. Namun demikian, sosialisasi ini belum dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia karena problem jangkauan wilayah Indonesia yang sangat luas dan waktu yang sangat singkat. Sehingga belum semua korban mendapatkan informasi mengenai pemenuhan hak-haknya sesuai dengan ketentuan Pasal 43 L UU Terorisme.
LPSK dalam menindaklanjuti permohonan kompensasi dan hak-hak lainnya dari tindak pidana terorisme masa lalu, sesuai dengan ketentuan PP Nomor 35 Tahun 2020 dan Peraturan LPSK Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pengajuan dan Pemeriksaan Permohonan Kompensasi, Bantuan Medis, Atau Rehabilitasi Psikososial dan Psikologis Bagi Korban Tindak Pidana Terorisme Masa Lalu.
“Dari pelaksanaan pemberian kompensasi kepada korban tindak pidana terorisme masa lalu yang telah dilaksanakan LPSK, telah diberikan kompensasi yang langsung diberikan melalui rekening korban oleh bendahara negara kepada 631 korban tindak pidana terorisme masa lalu dari kurang lebih 65 peristiwa tindak pidana terorisme masa lalu dengan total nilai kompensasi sebesar Rp103.416.852.987,00. Data tersebut menunjukan masih terdapat kurang lebih 779 korban tindak pidana terorisme masa lalu yang belum mendapatkan kompensasi. Sesungguhnya pelaksanaan rehabilitasi pemulihan tidak berhenti sampai kompensasi saja, melainkan korban hingga saat ini masih membutuhkan bantuan medis dan psikologis lanjutan, dan hal ini juga diberikan kepada korban terorisme masa lalu yang terlambat mengajukan kompensasi,” sebut Susi.
Terkait keterangan tersebut, Hakim Konstitusi Arsul Sani mengajukan pertanyaan pada LPSK yang dinilai mengalami kesulitan menyerahkan kompensasi pada para korban sebelum terbitnya Peraturan LPSK Nomor 7 Tahun 2020. Untuk itu, pihak LPSK diharapkan dapat memberikan keterangan tambahan dan alasan kesulitan yang dialami saat memberikan bantuan. “Apakah ini terjadi karena ketidaktersediaan anggaran atau bagaimana? Dan demikian juga dengan BNPT, bagaimana pengaruh pandemi Covid-19 dalam pelaksanaan tugasnya?” tanya Arsul.
Menjawab pertanyaan tersebut, Susi mengungkapkan LPSK memang menemui kesulitan ketika pandemic Covid-19. Seperti lokasi di Poso yang jauh dari kota, LPSK setelah melakukan pemeriksaan dan pembatasan ketika Covid-19. “Kami juga terbatas menemui korban karena ada pembatasan ketika Covid-19. Itu menjadi hambatan kami,” ucap Susi.
Kesaksian Korban
Dalam sidang tersebut, Pemohon menghadirkan sejumlah saksi yang merupakan korban terorisme. Salah satu yang hadir adalah Thiolina F Marpaung merupakan saksi korban ledakan bom Bali yang terjadi di Jalan Legian, Kuta, Bali yang terjadi pada 12 Oktober 2002 (Bom Bali I). Akibat kejadian ini, korban mengalami cidera mata yang mengharuskannya menjalani berbagai perawatan intensif hingga akhirnya dapat pulih. Usai kejadian ini, Saksi memilih jalan mengoordinasi para korban untuk memperoleh bantuan-bantuan bagi para korban lainnya yang belum mendapatkan bantuan sama sekali.
“Setelah banyaknya kejadian dengan teman-teman kami, LPSK memberikan syarat untuk mendapatkan bantuan psikologis, kesehatan, dan kompensasi. Semua korban yang terdampak langsung diberikan bantuan kesehatan dan bagi keluarga korban diberikan bantuan pula,” ungkap Thiolina.
Selanjutnya, kesaksian Jufri Yusuf yang merupakan korban ledakan bom Pasar Tentena, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah yang terjadi pada 2005. Hingga saat ini, cerita Jufri, Saksi belum mendapatkan kompensasi dari negara. Kemudian Daniel Eduard Doeka merupakan saksi korban ledakan bom yang terjadi di Pasar Tradisional Kampung Maesa, Kecamatan Palu Selatan, Palu, Sulawesi Tengah pada 31 Desember 2005.
“Istri saya juga merupakan korban dan meninggal dunia. Sejak peristiwa itu sangat memeukul kami sebagai keluarga. Sebagai korban dan istri sudah mendapatkan bantuan kompensasi dari negara melalui proses yang panjang dan mendapatkan informasi dari BNPT, kami diidentifikasi dan menyiapkan dokumen. Proses ini cukup panjang mulai dari proses awalan pada Juli 2020 sampai kami mendapatkan hak berupa kompensasi pada Februari 2021,” kisah Daniel.
Baca juga:
Menyoal Konstitusionalitas Aturan Batas Waktu Pengajuan Bantuan Bagi Korban Tindak Pidana Terorisme
Pemohon Pertegas Dalil Konstitusionalitas Batas Waktu Pengajuan Bantuan Bagi Korban Tindak Pidana Terorisme
DPR Absen dan Pemerintah Minta Waktu Menyusun Keterangan Uji UU Terorisme
Sidang Uji UU Terorisme Kembali Ditunda
Pemerintah: LPSK Berikan Kompensasi yang Jadi Hak Korban Terorisme
Sebelumnya, para Pemohon menilai Pasal 43L UU Terorisme telah merenggut hak korban atas pemulihan. Pemohon yang merupakan para korban tindak pidana terorisme yang peristiwanya terjadi sebelum diundangkannya UU Terorisme yang belum mendapatkan kompensasi dan bantuan berhak mendapatkannya dengan cara mengajukan permohonan kepada LPSK. Hal ini disertai dengan melampirkan surat penetapan korban Tindak Pidana Terorisme yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Selain itu, pengajuannya dibatasi paling lama 3 tahun terhitung sejak tanggal UU Terorisme mulai berlaku, yakni pada 22 Juni 2018. Namun bagi para korban yang telah melewati batas waktu tersebut dan belum mengajukan kompensasi kepada LPSK, maka tidak berhak mendapatkan hak-hak yang diatur di dalam undang-undang tersebut. Akibat norma ini, berimplikasi pada waktu yang tersedia bagi LPSK dan BNPT untuk menyampaikan informasi kepada para korban tindak pidana terorisme di seluruh wilayah Indonesia untuk dapat mengajukan bantuan dan kompensasi kepada negara.
Para Pemohon melaporkan berdasarkan data LPSK, LPSK telah menyerahkan kompensasi kepada 215 orang korban tindak pidana terorisme dengan jumlah kompensasi sebesar Rp39.205.000.000,- pada 2020. Sementara pada 2021 dan 2022, LPSK telah menyerahkan kepada 357 orang korban dengan jumlah kompensasi sebesar Rp59.720.000.000,-. Mengacu pada laporan LPSK tersebut, ternyata hal ini belum semua korban tindak pidana terorisme mendapatkan hak-haknya. Situasi ini menimbulkan ketidakadilan bagi korban, karena waktu yang sangat terbatas bagi korban untuk mengajukan kepada negara—dalam hal ini LPSK. Selain itu, informasi yang didapatkan tidak merata kepada semua korban tindak pidana terorisme di seluruh wilayah Nusantara. Sehingga, banyak korban yang masih belum mendapatkan hak-haknya dalam rangka pemulihannya. Adanya pengaturan mengenai batasan waktu pengajuan permohonan bantuan dan/atau kompensasi bagi korban tindak pidana terorisme ini tentunya bertolak belakang dengan tujuan adanya perlindungan hukum bagi korban. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 43L ayat (4) UU Terorisme bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha