JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan Wiwit Purwito yang menguji Pasal 48 ayat (4) huruf e Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) tidak dapat diterima. Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 11/PUU-XXII/2024 tersebut digelar di Ruang Sidang Pleno MK pada Kamis (29/2/2024) dengan dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo.
Dalam pertimbangan hukum Mahkamah, Hakim Konsitusi Enny Nurbaningsih menyebutkan bahwa pelindungan terhadap anak-anak, remaja, dan perempuan dalam pedoman perilaku penyiaran terbatas pada larangan siaran atau adegan yang hanya berlaku pada sekolah setingkat SLTA/Sederajat atau memakai seragam sekolah peradegan percintaan lawan jenis. Sehingga hal yang dimohonkan Pemohon justru mempersempit norma pelindungan terhadap anak-anak, remaja, dan perempuan.
Ditambah pula, sambung Enny, pada permohonan Pemohon tidak mencantumkan kata “tidak” agar dapat memberikan pemaknaan yang sejalan dengan alasan pada permohonan. Permintaan demikian tidak sejalan dan tidak berkorelasi dengan hal-hal yang diuraikannya untuk menjelaskan semakin maraknya dunia perfilman atau sinetron yang mengandung unsur kekerasan, adegan percintaan, sehingga perlu memberikan batas-batas norma perlindungan terhadap anak, remaja, dan perempuan dalam pedoman perilaku penyiaran yang ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Menurut Mahkamah seharusnya petitum Pemohon tidak boleh mengubah arah dan mengaburkan makna yang sebelumnya dan harus pula dijabarkan secara jelas dan memadai terhadap pertentangan norma yang dimohonkan pengujian konstitusionalnya dengan norma dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian.
“Oleh karena itu setelah Mahkamah mencermati permohonan Pemohon, maka Pemohon memenuhi kualifikasi dalam ketentuan Pasal 74 PMK 2/2021. Dengan demikian, karena terdapat ketidaksesuaian antara alasan-alasan permohonan (posita) dengan yang dimohonkan (petitum) kepada Mahkamah, maka tidak terdapat keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan permohonan Pemohon adalah tidak jelas atau kabur (obscuur),” ucap Enny.
Untuk diketahui, Pemohon yang berprofesi sebagai karyawan swasta ini dalam Sidang Pendahuluan yang dilaksanakan pada Jumat (2/2/2024) lalu menyatakan, pasal yang diujikan dinilai bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2), Pasal 28C, dan Pasal 28F UUD 1945. Dalam perkara ini, Pemohon ingin adanya penegasan atas batasan dari perlindungan anak dalam mengonsumsi dunia perfilman. Sebab, saat ini semakin marak dunia perfilman yang mengandung unsur kekerasan, adegan percintaan dan dewasa, sehingga menimbulkan dampak negatif bagi anak dan remaja. Pemohon dalam permohonannya juga menyebutkan beberapa contoh sinetron atau film yang ditayangkan televisi yang berdampak negatif bagi anak dan remaja, di antaranya “Anak Jalanan”, “Ganteng-Ganteng Serigala”.
Film-film demikian dinilai Pemohon sangat jarang menampilkan adegan positif seperti semangat belajar, motivasi belajar, sementara reka adegan dilakukan di kawasan sekolah atau mengenakan seragam sekolah. Dari hal-hal tersebut, anak atau remaja cenderung meniru segala tingkah yang ditunjukkan oleh orang dewasa yang sering dilihat dan didengarnya. Sehingga, dapat dipastikan tayangan-tayangan televisi tersebut membuat para orang tua khawatir dengan tumbuh kembang dan karakter anak-anak yang terpapar dengan tayangan yang sarat dengan pesan negatif tersebut. Oleh karenanya, lembaga penyiaran (dalam hal ini KPI) yang menjadi media komunikasi massa yang memiliki peran penting dalam kehidupan sosial, bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan dan penyaringan serta penyeleksian dunia film yang layak bagi anak dan remaja. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina