JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruhnya permohonan Perkara Nomor 28/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian materi Pasal 348 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Dengan demikian, ketentuan pindah memilih guna dapat menggunakan haknya untuk pemilih pada pemilihan umum yang diatur dalam norma tersebut konstitusional.
“Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan putusan pada Kamis (29/2/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menegaskan, daerah pemilihan (dapil) merupakan batas penggunaan hak pilih, yakni hak memilih bagi pemilih dan hak dipilih bagi peserta Pemilu. Menurut Mahkamah, norma Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu masih dalam batas yang wajar, terutama berkaitan dengan konteks implementasi sistem Pemilu dengan proporsional terbuka, pemilih dapat memilih langsung daftar nama calon legislatif yang mewakili aspirasi daerah pemilihannya yang merefleksikan hubungan secara langsung antara pemilih dan peserta Pemilu calon legislatif. Sistem Pemilu proporsional dengan daftar terbuka lebih dekat kepada sistem Pemilu yang dikehendaki oleh UUD 1945 karena sistem tersebut mampu menempatkan rakyat sebagai pemilih yang memilih langsung calon anggota DPR/DPRD.
Mahkamah juga menegaskan pendiriannya bahwa pemilih yang sudah keluar dari dapilnya, meskipun ia masih berada dalam wilayah Republik Indonesia, hak pilihnya tidak lagi valid digunakan untuk memilih calon anggota legislatif karena basis representasi wakil rakyat yang dipilihnya bukan di dapil asal pemilih yang bersangkutan. Apabila pemilih tersebut diberikan hak pilih untuk memilih calon anggota legislatif di luar dapilnya, justru hal tersebut menodai kemurnian sistem pemilihan berbasis daerah pemilihan, sehingga sistem pertanggungjawaban wakil rakyat terpilih kepada pemilih di luar dapil asalnya menjadi tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Namun, konstruksi hal demikian berbeda dengan pemilih di luar negeri. Meskipun pemilih yang tinggal di luar negeri berada di luar wilayah administratif Republik Indonesia, warga negara Indonesia yang berada di luar negeri tetap berhak menggunakan hak pilihnya dan negara memiliki kewajiban untuk menyediakan sarana dan prasarana yang mendukung penggunaan hak pilih dimaksud. Karena itu, Mahkamah menyatakan norma Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu tidak melanggar prinsip negara hukum dan kedaulatan rakyat, serta hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum yang adil, kesempatan yang sama dalam pemerintahan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan bukan sebagaimana yang didalilkan para Pemohon. Dengan demikian, dalil-dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Mahkamah juga menolak permohonan provisi Para Pemohon yang meminta Majelis Hakim Konstitusi memprioritaskan pemeriksaan perkara ini dan menjatuhkan putusan sebelum pemungutan suara Pemilu 2024 yang dilaksanakan pada 14 Februari 2024 dengan tetap berpegang pada hukum acara yang berlaku di MK. Sementara, dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menyatakan, permohonan para Pemohon a quo baru diajukan 19 hari kalender sebelum pemungutan suara Pemilu tanggal 14 Februari 2024. Apabila permohonan provisi para Pemohon a quo dikabulkan, hal tersebut justru menghambat proses penyelenggaraan Pemilu yang telah dirancang oleh KPU. Terlebih, permohonan perkara a quo diputus oleh Mahkamah pasca-penyelenggaraan Pemilu 2024. Karena itu, sifat keterdesakan atas permohonan a quo agar diputus sebelum tahapan penyelenggaraan Pemilu 2024 sudah tidak relevan lagi. Dengan demikian, berdasarkan alasan pertimbangan hukum tersebut, permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Di sisi lain, terdapat pendapat berbeda atau dissenting opinion dari Hakim Konstitusi Arsul Sani. Menurut Arsul, mencermati sejumlah Putusan MK sebelumnya membuka kemungkinan sebuah pengaturan yang masuk dalam ranah kebijakan pembuat undang-undang yang bersifat terbuka (open legacy) untuk dibatalkan atau dibatasi konstitusionalitasnya dengan memberi pemaknaan berdasarkan alasan-alasan yaitu melampaui kewenangan pembuat undang-undang, merupakan penyalahgunaan kewenangan, nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945, jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable, serta bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat. Terlebih, Mahkamah pernah mengubah pendiriannya terhadap undang-undang yang sebelumnya dinyatakan open legal policy menjadi inkonstitusional seperti pada Putusan Nomor 22/PUU-XV/2017.
Sebagai informasi, Perkara Nomor 28/PUU-XXII/2024 ini diajukan Partai Buruh (Pemohon I) dan seorang karyawan swasta bernama Cecep Khaerul Anwar (Pemohon II) yang menguji Pasal 348 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Pemohon I menganggap terdapat potensi mengalami kerugian konstitusional dengan berlakunya Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu. Hak konstitusional yang dirugikan yakni kehilangan hak dan peluang untuk dapat dipilih sebagai peserta Pemilu 2024 karena kondisi pemilih yang pindah lokasi memilih ke luar daerah pemilihan asalnya pada saat hari pemungutan suara. Pemohon I sebagai partai politik mendalilkan kerugian konstitusional yang dialami bersifat spesifik (khusus) yaitu akan kehilangan hak dan peluang untuk dapat dipilih sebagai peserta Pemilu 2024.
Sedangkan, Pemohon II yang memiliki persoalan ekonomi, biaya, dan jarak terancam tidak dapat memilih pada hari pemungutan suara di TPS yang semula terdaftar sesuai dengan alamat KTP. Pemohon mendalilkan hal tersebut terjadi karena dengan kondisi tersebut tidak memungkinkan Pemohon II untuk pulang ke daerah yang menjadi tempat dirinya terdaftar sebagai pemilih (menyesuaikan alamat domisili/KTP).
Menurut Para Pemohon, adanya ketentuan Pasal 384 ayat (4) UU Pemilu justru membatasi hak dan peluang untuk dipilih dan memilih, sebab dalam pasal a quo, pemilih pindahan hanya bisa memilih Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan, untuk melakukan pemilihan anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tidak dapat dilakukan. Atas alasan-alasan tersebut, para Pemohon meminta MK untuk menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon dan menyatakan Pasal 384 ayat (4) UU Pemilu bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina