EDITORIAL
Pertikaian "tak kunjung padam" antara Badan Pemeriksa Keuangan dan Mahkamah Agung menunjukkan solusi yang dipilih pemerintah, dengan menyusun peraturan pemerintah, ternyata tidak efektif. Buktinya, belum lagi peraturan pemerintah itu beresâbaru pada tahap finalisasi draf di Departemen Keuanganâkonflik dua lembaga tinggi negara itu memuncak kembali.
Membaca draf yang terdiri atas lima pasal itu, Badan Pemeriksa Keuangan langsung meradang karena tetap dianggap tidak berwenang mengaudit biaya perkara di Mahkamah Agung. Biaya perkara inilah titik sentral sengketa yang meletup sejak September tahun lalu.
Sengketa muncul setelah Ketua BPK Anwar Nasution memprotes Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan yang menolak audit BPK atas biaya perkara. Bagir beralasan uang perkara yang dipungut Mahkamah bukan uang negara, sehingga tidak termasuk yang bisa dimasuki BPK. Sebalilmya, Anwar ngotot. Ia menunjuk Undang-Undang Keuangan Negara serta Undang-Undang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, yang memuat aturan bahwa setiap rupiah yang masuk instansi pemerintah harus diaudit BPK.
Perang pernyataan pun terjadi. Bagir mengajukan Undang-Undang Hukum Acara Perdata sebagai dasar berpijak. Menurut dia, berdasarkan peraturan peninggalan kolonial itu, uang perkara merupakan uang titipan orang yang sedang mencari keadilan. Seandainya tersisa, uang perkara harus dikembalikan kepada sang pencari keadilanâwalaupun dalam praktek hal ini jarang terjadi. Mahkamah berkeras, biaya perkara tidak termasuk penerimaan negara bukan pajak.
Masuk atau tidak ke penerimaan negara, transparansi diperlukan dalam kasus Mi. Jumlah biaya perkara tidak kecil. Biaya mengurus perkara kasasi perdata umum di Mahkamah Agung, misalnya, sekitar Rp 500 ribu. Jika menyangkut masalah perdata niaga, biayanya menjadi Rp 5 juta. Sampai akhir tahun lalu, sekitar 12 ribu perkara masuk di Mahkamah. Bayangkan betapa besar biaya perkara yang tersebar di rekening Mahkamah Agung dan sekitar 700 pengadilan di bawahnya? Itu sebabnya, Anwar beranggapan, pungutan seperti ini tergolong liar jika tidak dilaporkan.
Presiden Yudhoyono berinisiatif mempertemukan pimpinan kedua lembaga tinggi negara itu. Hasilnya, muncul kesepakatan akan dibuat peraturan pemerintah. Namun, tak semua konflik kelembagaan bisa dihentikan lewat solusi seperti ini. Terbukti peraturan pemerintah itu, meski baru pada tahap draf, dipersoalkan lagi kekuatan hukumnya. Sudah bisa diduga, Mahkamah Agung akan mengatakan undang-undang yang melandasi tugas mereka lebih tinggi kedudukannya ketimbang peraturan pemerintah.
Sejak awal kami berpendapat, BPK harus memiliki akses memeriksa uang yang dipungut dan dipakai Mahkamah Agung. Jika Mahkamah Agung tetap kukuh menolak diperiksa, sengketa ini perlu diselesaikan "wasit" yang tepat, seperti yang diamanatkan undang-undang, yaitu Mahkamah Konstitusi.
BPK bisa mengajukan uji materi atas undang-undang yang menjadi "dasar dan pedoman" Mahkamah Agung dalam memungut biaya perkara itu ke Mahkamah Konstitusi. Bisa juga Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah merevisi undang-undang tersebut agar tak ada keraguan bahwa setiap lembaga negara harus bisa diperiksa keuangannya. â¢
Sumber: HU Koran Tempo / Senin, 28 April 2008
Foto: dok. Humas MK