JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Ketetapan Nomor 7/PUU-XXII/2024 menyatakan mengabulkan penarikan kembali pengujian Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK). Permohonan diajukan oleh Adoni Y. Tanesab. Pemohon memutuskan untuk menarik permohonannya setelah mempertimbangkan nasihat hakim pada sidang panel dengan agenda pemeriksaan pendahuluan beberapa waktu lalu.
“Mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan ketetapan dan putusan pada Kamis (29/2/2024) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta Pusat.
Suhartoyo menjelaskan, MK telah menerima permohonan Adoni Y. Tanesab pada 11 Desember 2023. Selanjutnya, Mahkamah telah melaksanakan sidang agenda pemeriksaan pendahuluan pada 1 Februari 2024. Namun, pada 9 Februari, MK menerima surat dari Pemohon perihal pencabutan permohonan yang dikirimkan melalui email, yang pada pokoknya Pemohon memutuskan untuk mencabut permohonan pengujian frasa “undang-undang” dalam Pasal 29 ayat (1) huruf a beserta Penjelasannya UU KK.
Menindaklanjuti surat penarikan/pencabutan tersebut, Mahkamah telah melaksanakan sidang panel dengan agenda konfirmasi penarikan permohonan Pemohon pada 19 Februari 2024. Sidang itu dihadiri kuasa hukum Pemohon, Marthen Boiliu. Pemohon mengatakan, penarikan permohonan mempertimbangkan saran majelis hakim panel pada sidang pemeriksaan pendahuluan.
Lebih lanjut Suhartoyo mengatakan, Pemohon dapat menarik kembali permohonan sebelum atau selama pemeriksaan MK dilakukan sebagaimana Pasal 35 ayat (1) UU MK dan Pasal 35 ayat (2) UU MK yang menyatakan, “Penarikan kembali mengakibatkan permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali.”
Dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pada 21 Februari 2024 telah memutuskan perihal pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 7/PUU-XXII/2024 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo.
Baca juga:
Pemohon Minta Putusan MK Yang Langgar Kode Etik Dapat Diuji
Sebagai tambahan informasi, seorang mahasiswa bernama Adoni Y. Tanesab mengajukan permohonan pengujian Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK). Pemohon meminta MK menafsirkan frasa “undang-undang” dalam norma pasal tersebut meliputi Putusan Mahkamah Konstitusi yang proses pemeriksaan dan pengambilan putusannya dinyatakan terbukti melanggar prinsip independensi dan prinsip ketidakberpihakan Kode Etik Perilaku Hakim Konstitusi (Sapta Karsa Hutama) berdasarkan Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
“Menyatakan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berikut Penjelasannya, Lembaran negara Republik Indonesia tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076 yang berbunyi "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji "undang-undang" terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa "undang-undang" tidak dimaknai “meliputi Putusan Mahkamah Konstitusi yang proses pemeriksaan dan pengambilan Putusan Mahkamah Konstitusi dinyatakan terbukti melanggar prinsip independensi dan prinsip ketakberpihakan Kode Etik Perilaku Hakim Konsitusi (Sapta Karsa Hutama) berdasarkan Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK)”,” ujar kuasa hukum Pemohon, Marthen Boiliu saat membacakan petitum permohonan Perkara Nomor 7/PUU-XXII/2024 dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Ruang Sidang MK, Kamis (1/2/2024).
Pengujian UU KK ini merupakan buntut Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang membuat tafsir baru terhadap Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengenai ketentuan persyaratan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres). Karena adanya Putusan MK dimaksud, Pemohon tidak dapat mengajukan permohonan pengujian agar Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dibatalkan sebab MK tidak memiliki kewenangan untuk itu.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: Nur R.
Humas: Fauzan F.