JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang terhadap perkara Nomor 16/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan oleh Albert Ola Masan Setiawan Muda yang merupakan seorang mahasiswa dari Universitas Internasional Batam (UIB). Sidang pengujian Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) ini digelar Selasa (27/2/2024). Sidang kedua dengan agenda mendengarkan poin perbaikan Pemohon ini dilaksanakan oleh Majelis Sidang Panel yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo bersama dengan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur sebagai hakim anggota.
Dalam persidangan yang dihadiri secara daring, Risky Kurniawan selaku kuasa Pemohon menyampaikan hal yang sudah diperbaiki dalam permohonan. Di antaranya soal kewenangan MK dalam menyelesaikan perkara pengajuan permohonan pembubaran partai politik.
“Sehingga pada petitum Pemohon meminta kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 68 ayat (1) UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pemohon adalah Pemerintah atau Perorangan warga negara Indonesia,” ucap Otniel Raja Maruli Situmorang (kuasa Pemohon) membacakan petitum Pemohon.
Baca juga:
Kenapa Permohonan Pembubaran Partai Politik Hanya Dapat Diajukan Pemerintah?
Sebagai informasi, MK pada Senin (12/2/2024) menggelar sidang perdana Perkara Nomor 16/PUU-XXII/2024 ihwal pengujian Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Permohonan diajukan oleh oleh Albert Ola Masan Setiawan Muda yang merupakan seorang mahasiswa dari Universitas Internasional Batam.
Pasal 68 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon adalah Pemerintah”. Menurut Pemohon, pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Pemohon melalui kuasa hukumnya, Risky Kurniawan menyebutkan Pemohon merasa dirugikan karena pasal tersebut telah membatasi hak Pemohon untuk mengajukan permohonan pembubaran partai-partai yang tersangkut kasus korupsi yang dilakukan oleh pimpinan dan anggota partai yang memiliki jabatan publik. Sekiranya Kasus-kasus tersebut berpotensi untuk membubarkan partai-partai yang bersangkutan, muncul pertanyaan, bagaimana kalau partai politik (parpol) yang dianggap melakukan pelanggaran itu adalah bagian dari Pemerintah dan Presiden?
Menurut Pemohon, dengan tidak diberikannya hak membubarkan parpol kepada perseorangan warga negara dan dilimpahkan dalam kewenangan pemerintah, berimplikasi pada adanya abuse of power yang sarat akan tindakan yang mengutamakan kepentingan tertentu, baik diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Sehingga, hal tersebut berpotensi melanggar Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, Pemohon meminta agar pembubaran parpol yang korupsi dapat dilakukan oleh perseorangan warga negara.
Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 68 ayat (1) UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pemohon adalah Pemerintah atau Perorangan warga negara Indonesia”.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Fauzan F.