JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang yang dimohonkan oleh Budi Wibowo Halim yang berprofesi sebagai notaris pada Selasa (27/2/2024). Sidang lanjutan atas pengujian Pasal 44 ayat (2) huruf a angka 7, dan Pasal 49 huruf a, huruf b, dan huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) ini dipimpin langsung Ketua MK Suhartoyo dan Wakil Ketua MK Saldi Isra di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK.
Agenda sidang Perkara Nomor 117/PUU-XXI/2023 ini yakni mendengarkan keterangan dua orang Ahli yang dihadirkan Presiden/Pemerintah. Dua Ahli dimaksud yakni Eddy Suratman selaku Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tanjungpura, dan Eddy Supriadhi selaku Ahli dari Badan Pendapatan Daerah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Eddy Suratman menyebutkan salah satu tujuan utama dari UU HKPD untuk meningkatkan local taxing power, khususnya untuk mempercepat peningkatan kemandirian fiskal pemerintah kabupaten. Berdasarkan hasil simulasi DJPK Kemenkeu, dalam pelaksanaan UU HKPD pemerintah kabupaten akan mengalami peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) tertinggi dan menjadi salah satu pajak yang berkontribusi besar terhadap peningkatan kemandirian fiskal pemerintah kabupaten dalam wujud Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Diakui oleh Suratman, BPHTB juga salah satu jenis pajak daerah paling potensial di kabupaten. Besarnya kontribusi BPHTB disebabkan oleh pelaksanaan substansi pengaturan Pasal 44 ayat (2) huruf a angka 7 UU HKPD. Pemerintah daerah sudah mengenal pengaturan ini sejak lahirnya Pasal 2 ayat (2) huruf a angka 7 UU Nomor 20 Tahun 2000 tentang BPHTB. Selama ini, sambung Suratman, penerapan substansi UU Nomor 1 Tahun 2022 Pasal 44 ayat (2) huruf a angka 7 diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2000 Pasal 2 ayat (2) huruf a angka 7 dan UU 28 Tahun 2009 Pasal 85 ayat (2) huruf a angka 7.
“Kontribusi BPHTB sebenarnya masih bisa ditingkatkan apabila kita mampu menutup celah-celah kebocoran yang bisa terbuka akibat kelemahan pengaturan yang ada selama ini yang seolah menimbulkan kekosongan hukum. Maka, apabila dalil Pemohon terkait pengertian pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan diterima, maka akibatnya akan terjadi peralihan hak yang tidak kena BPHTB sehingga mengurangi basis pajak BPHTB dan penerimaan BPHTB pun kemungkinan besar akan menurun. Selanjutnya, apabila dalil Pemohon terkait saat terutangnya BPHTB tidak bisa ditetapkan pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tetapi setelah terbitnya Akte Jual Beli (AJB), maka persoalan kekosongan hukum tetap tersedia yang dapat dimanfaatkan wajib pajak (WP) untuk menghindari pajak BPHTB yang menyebabkan menurunnya penerimaan BPHTB,” jelas Suratman dalam Sidang Pleno yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dari Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK, Jakarta.
Sistem Administrasi Negara
Sementara itu Eddy Supriadhi mengungkapkan bahwa kehadiran Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023, dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 menunjukan penerapan PPJB sebagai wujud kehadiran Pemerintah atas praktik-praktik yang berlaku di masyarakat yang harus dilindungi dan dicatat pada sistem administrasi negara. Dikatakan Supriadhi bahwa PPJB merupakan suatu aktivitas ekonomi yang menyebabkan terjadinya perpindahan kekayaan, peningkatan kemampuan dan status sosial, serta terjadinya pemanfaatan dan/atau penguasaan tanah/bangunan yang memberikan keuntungan ekonomi dan sosial. Sehingga, mendapat kontribusi langsungnya dalam bentuk pajak, baik PPh maupun BPHTB. Pada praktiknya, sambung Supriadhi, PPJB dapat dilakukan di hadapan notaris atau tanpa diketahui notaris. Walaupun PPJB dibuat tanpa diketahui notaris, ini tidak mendegradasi nilainya sebagai sebuah perbuatan hukum yang sah menurut undang-undang.
“Meski tidak semua perbuatan hukum jual beli didahului dengan PPJB, Pemerintah sudah mengaturnya pada Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023, Pasal 18 ayat (3) mengatur pilihan yang dapat dimanfaatkan masyarakat, apakah langsung membuat AJB atau terlebih dahulu membuat PPJB. Jika dalam beberapa tahun setelah dilakukan PPJB (dengan pembayaran BPHTB) kemudian Wajib Pajak menandatangani Akta Jual Beli, maka Wajib Pajak tidak dikenakan BPHTB kembali, selama tidak terjadi perubahan yang mengakibatkan jumlah BPHTB kurang dibayar. Dengan demikian, penerapan norma ini tidak menimbulkan beban pajak ganda dan tidak melanggar hak-hak konstitusional warga negara,” terang Supriadhi.
Baca juga
Ahli Waris Persoalkan BPHTB untuk Pemisahan dan Pembagian Warisan
Pemohon Pertegas Alasan Uji Ketentuan BPHTB untuk Pemisahan dan Pembagian Warisan
UU HKPD Menyederhanakan Sistem Perpajakan dan Retribusi Daerah
Ketua Umum IPPAT Jelaskan Sejarah Hukum BPHTB dalam Sidang Uji UU HKPD
Dua Ahli Kenotariatan Jelaskan Pengenaan BPHTB terhadap PPJB
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 117/PUU-XXI/2023 diajukan oleh seorang notaris bernama Budi Wibowo Halim. Pemohon menguji materiil Pasal 44 ayat (2) huruf a angka 7, dan Pasal 49 huruf a, huruf b, dan huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
Pada Sidang Pendahuluan yang digelar Rabu (4/10/2023) lalu, Pemohon bercerita bahwa dirinya telah menerima warisan, namun belum didaftarkan untuk peralihan hak ke kantor pertanahan karena belum mampu membayar bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) terhadap warisan yang diperolehnya. Pengaturan yang ada pada pasal tersebut pada pokoknya mengatur bea perolehan hak atas tanah terutang terhadap perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang berasal dari pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan.
Padahal pemisahan dan pembagian warisan dari seluruh ahli waris kepada satu atau lebih ahli waris (tidak semua ahli waris) bukanlah suatu bentuk peralihan hak, sehingga tidak termasuk pada bagian dari terutang BPHTB. Sebagai ahli waris secara konstitusional hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum pengenaan pajak BPHTB karena dikenakan BPHTB untuk pemisahan dan pembagian warisan yang seharusnya tidak BPHTB. Seharusnya Pemohon hanya dikenakan BPHTB Waris, namun karena ketidakjelasan rumusan Pasal 44 ayat (2) huruf a angka 7 dan Pasal 49 huruf b UU HKPD, Pemohon justru berpotensi dikenakan BPHTB Waris dan BPHTB Pemisahan Hak yang mengakibatkan peralihan hak. Akibatnya besaran pajaknya pun tidak berdasar dan menimbulkan persoalan-persoalan yang menyulitkan penerima waris.
“Kerugian konstitusional Pemohon tidak akan terjadi apabila Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 49 huruf b UU HKPD, sepanjang frasa “hibah wasiat” adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum, sehingga harus dibaca sebagai “sedangkan untuk Hibah wasiat, pada tanggal didaftarkannya peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk hibah wasiat,” ucap Budi yang hadir sendiri secara langsung di Ruang Sidang Pleno MK.
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.