JAKARTA, HUMAS MKRI – Pemohon pengujian Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur, dan Kota Bontang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2000 memperbaiki permohonan. Sidang untuk mendengarkan perbaikan permohonan perkara Nomor 10/PUU-XXII/2024 ini digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (26/2/2024). Perbaikan permohonan berkaitan dengan kedudukan hukum Pemohon, alasan permohonan, hingga petitum.
Kuasa hukum para Pemohon, Heru Widodo mengatakan pihaknya telah menguatkan kedudukan hukum para Pemohon (legal standing). Para Pemohon Perkara Nomor 10/PUU-XXII/2024 ini yaitu Wali Kota Bontang Basri Rase bersama Ketua DPRD Kota Bontang Andi Faisal Sofyan Hasdam, Wakil Ketua I DPRD Kota Bontang Junaidi, serta Wakil Ketua II DPRD Kota Bontang Agus Haris, mengaku telah menerima surat mandat dari Forum Komunikasi Masyarakat Sidrap dan tujuh RT di Kelurahan Guntung untuk mengajukan pengujian UU a quo. Aspirasi masyarakat itu pun kemudian di bahas dalam rapat paripurna kedelapan Sidang I DPRD Kota Bontang dan disepakati untuk mengajukan pengujian UU 47/1999 ke MK.
Selain itu, Heru menuturkan, para Pemohon mempersoalkan wilayah Kota Bontang hanya terdiri dari dua kecamatan saja yakni Kecamatan Bontang Selatan dan Kecamatan Bontang Utara. Lampiran 5 UU 47/1999 yang tidak mengikutsertakan Kecamatan Bontang Barat ke dalam wilayah Kota Bontang mengakibatkan ketidakpastian hukum. Tidak masuknya Kecamatan Bontang Barat ke wilayah Kota Bontang bukan dikarenakan Kecamatan Bontang masuk ke daerah lain atau sengketa.
“Tetapi hanya secara administratif formal di dalam peta itu tidak masuk kemudian di dalam uraian batas wilayah itu tidak masuk, secara materil atau substansif tidak ada sengketa dengan kabupaten lain. Kami hanya ingin mendapatkan penegasan dalam putusan MK. Tidak disebutkan dalam UU Pembentukan akan menimbulkan ketidakpastian hukum,” ujar Heru di Ruang Sidang MK Jakarta.
Lalu persoalan lainnya yang dipertegas ialah Desa Sekambing tidak dimasukkan sebagai bagian dari Kecamatan Bontang Selatan, padahal keberadaan desa ini telah ada sejak Bontang berstatus sebagai Kota Administratif. Kemudian, sebelah barat Kota Bontang digambarkan berbatasan dengan Kecamatan Marangkayu, padahal seharusnya adalah dengan Kecamatan Sangatta Kabupaten Kutai Timur.
Ada juga persoalan wilayah Sidrap atau yang saat ini nomenklaturnya berubah dengan nama “RT” yang terdiri dari RT 19, RT 20, RT 21, RT 22, RT 23, RT 24, dan RT 25 yang semula menjadi bagian dari Kecamatan Bontang Daerah Tingkat II Kabupaten Kutai berubah menjadi bagian wilayah yang masuk ke Kecamatan Sangatta Kabupaten Kutai Timur. Selain menimbulkan ketidakpastian hukum juga telah menciptakan norma baru khususnya tentang batas kota di sebelah utara dengan Kecamatan Sangatta Kabupaten Kuta Timur dengan tidak menetapkan wilayah Sidrap sebagai bagian wilayah Kecamatan Bontang Utara, yang tidak sesuai dengan maksud Pasal 10 ayat (4).
Selain itu, Heru menjelaskan, proses penyelesaian batas wilayah khususnya wilayah Sidrap telah menyebabkan sengketa berkepanjangan karena tak kunjung membuahkan hasil. Upaya penyelesaian yang telah dilakukan para Pemohon antara lain bersama dengan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur melalui koordinasi dan supervisi yang difasilitasi Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur, bahkan telah dimohonkan penyelesaiannya kepada Kementerian Dalam Negeri.
Rangkaian upaya penyelesaian sengketa yang tidak berujung itu berlanjut dengan pengujian Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 25 Tahun 2005 tentang Penentuan Batas Wilayah Kota Bontang dengan Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kutai Kartanegara ke Mahkamah Agung (MA) berdasarkan rekomendasi dari Pemprov Kalimantan Timut. Namun, permohonan ini pun ditolak.
“Atas dasar keseluruhan alasan-alasan permohonan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, terbukti menurut hukum dan penetapan batas wilayah Kota Bontang dalam Penjelasan Pasal 2 UU 47/1999, serta dalam Ketentuan Pasal 7, Pasal 10 ayat (4) huruf c, Pasal 10 ayat (5) huruf d, dan Lampiran 5 UU 47/1999 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” kata Heru.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta MK menyatakan Penjelasan Pasal 2 UU 47/1999 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Para Pemohon juga meminta MK memasukkan Bontang Barat dalam Pasal 7 dan Kecamatan Bontang Barat dalam Pasal 10 ayat 4 huruf c UU 47/1999. Kemudian para Pemohon meminta MK memaknai Pasal 10 ayat 5 huruf d UU 47/1999 menjadi “d. Kota Bontang mempunyai batas wilayah sebelah barat dengan Kecamatan Sangatta Kabupaten Kutai Timur” serta tidak memasukkan wilayah Sidrap atau yang saat ini nomenklaturnya berubah dengan nama “RT” yang terdiri dari RT 19, RT 20, RT 21, RT 22, RT 23, RT 24, dan RT 25 sebagai bagian dari wilayah Kecamatan Bontang Utara Kota Bontang dan Desa Sekambing sebagai bagian dari wilayah Kecamatan Bontang Selatan Kota Bontang dalam Lampiran 5 berupa Peta Wilayah Kota Bontang UU 47/1999.
Baca juga:
Sengketa Batas Wilayah Kota Bontang Diuji ke MK
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.