JAKARTA, HUMAS MKRI – Kompensasi merupakan hak korban terorisme. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 telah mengatur pemberian kompensasi bagi tiga kelompok korban, yakni korban terorisme masa lalu, korban pasca-UU No. 5/2018 (UU Terorisme), dan WNI korban terorisme di luar negeri. Demikian keterangan Pemerintah yang disampaikan oleh Masyhudi selaku Staf Ahli Kejaksaan Agung Republik Indonesia pada sidang lanjutan uji materiil konstitusionalitas Pasal 43L ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (UU Terorisme). Sidang kelima Perkara Nomor 103/PUU-XXI/2023 tersebut digelar pada Senin (26/2/2024). Perkara ini diajukan oleh Peria Ronald Pidu (Pemohon I), Mulyadi Taufik Hidayat (Pemohon II), dan Febri Bagus Kuncoro (Pemohon III) ini beragendakan mendengarkan keterangan Pemerintah/Presiden dan Ahli Pemohon.
“Untuk korban terorisme pasca-UU Terorisme disahkan, maka kompensasi diberikan berdasarkan putusan pengadilan, begitu pula untuk korban terorisme di luar negeri. Sementara untuk kompensasi bagi korban terorisme masa lalu, pemberiannya akan langsung disampaikan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) tanpa putusan pengadilan dan untuk pembayaran kompensasi pada ketiga kelompok tersebut seluruhnya dilaksanakan oleh LPSK,” ujar Masyhudi di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo tersebut, Masyhudi menjabarkan bahwa kebijakan negara untuk memberikan kompensasi kepada korban terorisme diperhitungkan dan disesuaikan dengan anggaran/kemampuan negara. Sehingga, jika pemberian kompensasi kepada korban terorisme masa lalu tidak diatur jangka panjang waktunya, hal tersebut akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang berujung pada tidak tercapainya ketertiban. Oleh karenanya, ketentuan Pasal 43 L ayat (4) UU Terorisme yang mengatur jangka waktu tiga tahun tersebut telah memberikan waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri mengajukan permohonan.
“Sehingga norma tersebut telah memberikan kepastian hukum bagi para korban terorisme sebelum berlakunya UU Terorisme, sehingga kerugian para Pemohon bukan merupakan kerugian konstitusional,” sebut Masyhudi.
Pemberian oleh LPSK
Sedangkan terkait permohonan kompensasi, bantuan medis, atau rehabilitasi psikososial dan psikologis bagi korban langsung yang diakibatkan dari tindak pidana terorisme hingga Agustus 2020, Masyhudi menyebutkan bahwa LPSK telah menerima permohonan perlindungan dari 564 korban yang setidaknya melibatkan 65 peristiwa serangan terorisme di Indonesia.
Dari 65 peristiwa tersebut, 45 peristiwa terjadi sebelum pengesahan UU Terorisme (masa lalu), yang diawali dengan Peristiwa Bom Bali 1 pada 2002. Berikutnya 19 peristiwa terorisme setelah disahkannya UU terorisme. Dari peristiwa yang terdata tersebut, masih terdapat tujuh peristiwa terorisme dengan 182 korban yang kompensasinya telah diputus pengadilan namun masih menunggu pelaksanaan pembayarannya. Kemudian, Pemerintah melalui LPSK—untuk periode Januari 2021 dengan Tim Kerja Percepatan Penanganan Korban Tindak Pidana Terorisme Masa Lalu (PPKTML)—telah melakukan asesmen dan memastikan hasil pemeriksaan terhadap 357 korban dan telah diberikan sejumlah kompensasi sesuai keputusan yang berlaku.
Batasan Waktu Tiga Tahun
Dalam sidang tersebut, Pemohon menghadirkan Aan Eko Widiarto dan Riawan Tjandra sebagai Ahli guna memberikan pandangan mengenai batasan waktu tiga tahun bagi pengajuan permohonan kompensasi korban terorisme. Aan Eko Widiarto, akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya menyebutkan dari sisi korban langsung, pemenuhan tenggat waktu tiga tahun sebagaimana ditentukan norma yang diujikan pada perkara ini kurang menempatkan korban langsung sebagai seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana terorisme.
Adapun Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban yang baru diundangkan pada 8 Juli 2020, yang mendelegasikan pelaksanaan UU Terorisme terdapat jeda waktu dua tahun. Akibat adanya Covid-19, para korban langsung hanya menyisakan waktu satu tahun untuk memenuhi syarat-syarat permohonan kompensasi yang dimaksudkan.
“Dengan keberlakukan Pasal 43L ayat (7) UU Terorisme, maka Korban Langsung dari Tindak Pidana Terorisme masa lalu ini, mustahil untuk mendapatkan haknya atas kompensasi, bantuan medis, atau rehabilitasi psikososial dan psikologis, sehingga Korban Langsung tidak memperoleh perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Oleh karenannya, ketentuan undang-undang ini jelas bertentangan dengan UUD 1945 yakni Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah,” terang Aan.
Membelenggu Pemerintah
Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta Riawan Tjandra mengatakan pembatasan masa klaim penggunaan anggaran dalam kaitannya dengan batasan tahun anggaran tidak seharusnya mengakibatkan seseorang terhalang dalam memperoleh haknya, sejauh pembiayaannya telah direncanakan dan dialokasikan dalam APBN serta diturunkan ke dalam anggaran kementerian/lembaga. Ia berpandangan akibat dari ketidakjelasan tujuan dari rumusan norma pada Pasal 43L UU Terorisme tersebut justru dapat membelenggu pemerintah dalam melaksanakan tanggung jawab perlindungan masyarakat terhadap korban-korban faktual dari terjadinya tindak pidana terorisme pada suatu saat nanti jika seandainya masih terjadi hal serupa.
“Maka norma hukum yang bersifat pembatasan tanpa kejelasan subyek maupun obyek yang dibatasi, sesungguhnya merupakan norma hukum yang mengingkari pengaturan hak-hak di dalam UU tersebut. Sehingga hal itu menjadi norma hukum yang mengandung fallacy atau kekeliruan berpikir,” jelas Riawan.
Baca juga:
Menyoal Konstitusionalitas Aturan Batas Waktu Pengajuan Bantuan Bagi Korban Tindak Pidana Terorisme
Pemohon Pertegas Dalil Konstitusionalitas Batas Waktu Pengajuan Bantuan Bagi Korban Tindak Pidana Terorisme
DPR Absen dan Pemerintah Minta Waktu Menyusun Keterangan Uji UU Terorisme
Sidang Uji UU Terorisme Kembali Ditunda
Sebelumnya, para Pemohon menilai pasal tersebut telah merenggut hak korban atas pemulihan. Pemohon yang merupakan para korban tindak pidana terorisme yang peristiwanya terjadi sebelum diundangkannya UU Terorisme yang belum mendapatkan kompensasi dan bantuan berhak mendapatkannya dengan cara mengajukan permohonan kepada LPSK. Hal ini disertai dengan melampirkan surat penetapan korban Tindak Pidana Terorisme yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Selain itu, pengajuannya dibatasi paling lama 3 tahun terhitung sejak tanggal UU Terorisme mulai berlaku, yakni pada 22 Juni 2018. Namun bagi para korban yang telah melewati batas waktu tersebut dan belum mengajukan kompensasi kepada LPSK, maka tidak berhak mendapatkan hak-hak yang diatur di dalam undang-undang tersebut. Akibat norma ini, berimplikasi pada waktu yang tersedia bagi LPSK dan BNPT untuk menyampaikan informasi kepada para korban tindak pidana terorisme di seluruh wilayah Indonesia untuk dapat mengajukan bantuan dan kompensasi kepada negara.
Para Pemohon melaporkan berdasarkan data LPSK, LPSK telah menyerahkan kompensasi kepada 215 orang korban tindak pidana terorisme dengan jumlah kompensasi sebesar Rp39.205.000.000,- pada 2020. Sementara pada 2021 dan 2022, LPSK telah menyerahkan kepada 357 orang korban dengan jumlah kompensasi sebesar Rp59.720.000.000,-. Mengacu pada laporan LPSK tersebut, ternyata hal ini belum semua korban tindak pidana terorisme mendapatkan hak-haknya. Situasi ini menimbulkan ketidakadilan bagi korban, karena waktu yang sangat terbatas bagi korban untuk mengajukan kepada negara—dalam hal ini LPSK. Selain itu, informasi yang didapatkan tidak merata kepada semua korban tindak pidana terorisme di seluruh wilayah Nusantara. Sehingga, banyak korban yang masih belum mendapatkan hak-haknya dalam rangka pemulihannya. Adanya pengaturan mengenai batasan waktu pengajuan permohonan bantuan dan/atau kompensasi bagi korban tindak pidana terorisme ini tentunya bertolak belakang dengan tujuan adanya perlindungan hukum bagi korban. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 43L ayat (4) UU Terorisme bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha