JAKARTA, HUMAS MKRI – Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengajukan permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam berkas permohonan Nomor 29/PUU-XXII/2024, Perludem menguji Pasal 201 ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) UU Pilkada. Pada inti permohonannya, Perludem meminta MK memberikan pemaknaan baru dalam norma tersebut agar pemungutan suara serentak nasional pilkada dilaksanakan pada Maret 2025 dan pelantikannya paling lambat Juli 2025.
“Pentingnya mengatur kembali jadwal penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak, pelantikan serentak, dan hubungannya dengan penguatan sistem presidensiil dan sistem pembangunan nasional dan pembangunan daerah,” ujar kuasa hukum Perludem (Pemohon), Fadli Ramadhanil dalam sidang perdana pemeriksaan pendahuluan yang dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Arsul Sani, dan Hakim Konstitusi Anwar Usman pada Jumat (23/2/2024) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.
Perludem menilai pasal-pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2), Ayat (3), Pasal 18 Ayat (4), Pasal 22E Ayat (1), Pasal 22E Ayat (5), dan Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945. Meskipun norma-norma tersebut pernah diuji di MK, Perludem meyakini permohonannya telah memenuhi kualifikasi ketentuan prasyarat permohonan dengan pasal dan ayat yang sama dapat diajukan kembali kepada MK dengan dasar konstitusional dan alasan permohonan yang berbeda.
Ketentuan dalam UU Pilkada memerintahkan jadwal penyelenggaraan pilkada pada November 2024. KPU pun sudah memutuskan akan menyelenggarakan pemungutan suara pilkada pada 27 November 2024. Bahkan, menurut Perludem, pada akhir-akhir ini mulai ada petunjuk yang mengindikasikan pemungutan suara serentak pilkada di seluruh wilayah Indonesia akan dimajukan menjadi September 2024.
Pemohon berargumentasi, pengaturan jadwal penyelenggaraan pilkada secara serentak di seluruh wilayah Indonesia adalah satu variabel penting dari sistem pemilu. Hal ini nantinya akan berpengaruh terhadap pelaksanaan teknis dari penyelenggaraan pemilu serta kualitas pemerintahan yang dibentuk dari hasil pemilihan.
Pemohon menilai, ketentuan dalam UU Pilkada tersebut akan berimplikasi kepada banyaknya tahapan Pilkada 2024 yang akan bersinggungan dengan tahapan Pemilu nasional 2024 untuk memilih Presiden serta memilih anggota legislatif DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota (pilpres serta pileg). Persinggungan tahapan ini jelas akan mengakibatkan beban kerja yang kompleks, rumit, dan tidak rasional kepada penyelenggara pemilu, khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Perludem berpendapat, bukan hanya masalah teknis penyelenggaraan pemilihan saja, penentuan jadwal tahapan pilkada juga berdampak langsung terhadap manajemen penyelenggaraan pemilu dan kualitas kedaulatan rakyat untuk menentukan sendiri gubernur dan wakilnya, bupati dan wakilnya, serta wali kota dan wakil wali kotanya.
Dengan demikian, Pemohon menyatakan, penentuan jadwal pelaksanaan Pilkada pada 27 November 2024 akan memunculkan masalah konstitusional, yakni tidak akan dapat diselenggarakannya pilkada secara jujur, adil, dan demokratis. Mahkamah dinilai penting memberikan perlindungan konstitusional dengan memberikan tafsir baru terhadap ketentuan UU a quo dan memutuskan jadwal penyelenggaraan pilkada dilaksanakan pada Maret 2025 dan pelantikan wajib dilaksanakan pada Juli 2025.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada dimaknai, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan dilantiknya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati, dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota oleh KPU hasil pemilihan tahun 2025”. Kemudian, Pemohon juga meminta agar Pasal 201 ayat (8) UU Pilkada dimaknai, “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan Maret 2025, dan pelantikan dilaksanakan selambat-lambatnya pada bulan Juli 2025, serta untuk ke depannya, pelaksanaan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serentak secara nasional dilaksanakan bersamaan dengan jadwal pemilihan anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota”. Pemohon juga meminta Pasal 201 ayat (9) UU Pilkada dimaknai, “Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan Penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui pemilihan serentak nasional pada tahun 2024”.
Nasihat Hakim
Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam nasihatnya mengatakan, Pemohon harus menguraikan dengan jelas kerugian konstitusional yang dialami akibat adanya norma yang diuji tersebut. Sebab, kata Saldi, berdasarkan permohonan yang diajukan, Pemohon lebih menyebutkan kerugian konstitusional yang dialami penyelenggara pemilu.
“Sebagiannya Anda meng-take over kerugian konstitusional penyelenggara sebetulnya, harusnya beberapa pasal kalau penyelenggara baru agak kuat legal standing-nya, jadi jangan-jangan penyelenggara merasa tidak apa-apa, … siap saja menyelenggarakannya,” kata Saldi.
Para hakim sepakat menyarankan agar Perludem memikirkan desain penyelenggaraan keserentakan pemilu, baik pilpres dan pileg maupun pilkada secara lebih komprehensif, dibandingkan memikirkan soal masa jabatan kepala daerah ini. Sebelum menutup persidangan, Saldi menginformasikan Pemohon diberi waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonan sehingga berkas perbaikan permohonan paling lambat diterima MK pada Kamis, 7 Maret 2024 pukul 09.00 WIB.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.