JAKARTA, HUMAS MKRI - Para pekerja migran mendapatkan perlindungan yang sah dan memadai. Negara membuat peraturan-peraturan nasional dan juga mengikuti perjanjian internasional yang juga melindungi terhadap kaum rentan ini. Perlindungan nasional sejatinya harus lebih tinggi dibandingkan perlindungan yang dinyatakan dalam tingkat internasional.
Hal tersebut disampaikan oleh Arie Afriansyah, staf pengajar di Bidang Studi Hukum internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang dihadirkan sebagai Ahli oleh Pihak Terkait dari Tim Advokasi Pelaut Migran Indonesia, dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (22/2/2024). Sidang kelima untuk perkara Nomor 127/PUU-XXI/2023 ini dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dan Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama dengan tujuh hakim konstitusi lainnya.
Menurut Arie, konvensi-konvensi yang dilakukan di tingkat internasional itu lebih banyak bersifat multilateral di mana banyaknya kepentingan-kepentingan yang harus diakomodir dalam sebuah dokumen. Oleh karena itu, akan menjadi hal yang wajar apabila kesepakatan yang dicapai dalam sebuah perjanjian internasional itu adalah hasil kompromi yang sangat tinggi. Hal ini berarti tingkat perlindungan yang dinyatakan dalam perjanjian internasional itu disepakati sebagai sebuah perlindungan yang minimal.
Arie menegaskan bahwa UU PPMI merupakan aturan nasional paling komprehensif dari upaya negara untuk melindungi WNI (baik PMI maupun keluarganya) yang akan mencari penghidupan di luar wilayah Indonesia. UU ini sangat memastikan persiapan dan legalitas PMI ini mulai dari proses persiapan pemberangkatan, pelaksanaan pekerjaan hingga saat selesai pekerjaannya. Selain itu, UU ini juga memastikan bahwa penempatan tenaga kerja juga dipastikan memenuhi semua persyaratan hukum untuk dapat bersama memberikan perlindungan maksimal.
“Semua ini diatur untuk melindungi dan memastikan PMI mendapatkan kondisi pekerjaan yang layak dan terhindar dari praktik negatif seperti penyelundupan dan perdagangan manusia,” jelasnya.
Tanggung Jawab Negara
Arie menjelaskan, pelaksanaan atas kewajiban-kewajiban dan hak-hak yang diberikan dalam perjanjian akan dilakukan menurut tata cara dan aturan yang berada dalam aturan domestik negara. Selain tata cara prosedur pelaksanaan kewajiban, negara juga akan menentukan apakah negara akan memberikan atau melaksanakan kewajiban yang sama dengan perjanjian internasional atau bahkan lebih baik dari apa yang sudah diberikan komitmen dalam tingkat internasional.
Pelaksanaan komitmen yang lebih baik atau lebih tinggi di tingkat domestik dibandingkan kewajiban di perjanjian internasional itu tidak bisa diprotes atau dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional. Hal ini mengingat bahwa perlindungan yang lebih baik seharusnya diberikan kepada warga negaranya sendiri dibandingkan negara lainnya.
Menurutnya, posisi Indonesia dalam pelaksanaan hukum internasional ke dalam hukum nasional tidak dinyatakan secara jelas dalam UUD 1945. Namun demikian, Indonesia akan selalu berupaya untuk melaksanakan apa yang sudah menjadi komitmennya dan juga apa yang sudah menjadi hak dalam perjanjian internasional untuk segera dilaksanakan dengan baik di level nasional. Hal ini bisa dilihat dalam peraturan pelaksanaan ataupun peraturan transformasi yang diperlukan untuk memastikan pelaksanaan kewajiban atau hak internasional tersebut efektif dalam level domestik.
Keterangan Saksi
Pada kesempatan yang sama, Pemerintah dalam persidangan menghadirkan tiga orang saksi yakni Purwanti Uta Djara, Abdul Rahmat dan Herman Suprayogi. Purwanti Uta Djara yang merupakan Kepala Bidang Ketenagakerjaan Kantor Dagang Ekonomi Indonesia (KDEI-Taipei-Taiwan) mengatakan UU PPMI sangat penting bagi Atase Ketenagakerjaan (Atnaker) sebagai pegangan utama dalam memberikan pelindungan bagi PMI Pelaut Awak Kapal dan Pelaut Perikanan. Tanpa UU ini, Atnaker dan KDEI Taipei akan mengalami kesulitan dalam menangani berbagai kasus yang melibatkan PMI Pelaut Awak Kapal dan Pelaut Perikanan.
Ia pun berharap, UU PPMI dan PP 22/2022 terus menjadi acuan sebagai pegangan kami dalam penanganan kasus-kasus PMI Pelaut Awak Kapal dan Pelaut Perikanan. Ia percaya tidak akan terjadi tumpang tindih aturan, manakala semua pihak dapat menjalankan tugas dan perannya sesuai dengan aturan yang ada.
“Saksi perlu menyampaikan dalam sidang yang mulia ini, bahwa saksi selama bertugas di Taiwan, belum pernah menerima keluhan dari awak kapal niaga migran dan awak kapal perikanan migran terkait hilangnya pelindungan awak kapal niaga migran dan awak perikanan sejak dikategorikan sebagai PMI dalam UU PPMI,” ungkapnya dalam persidangan.
Sementara Abdul Rahmat sebagai Anak Buah Kapal (ABK) kapal Taiwan bekerja sebagai pelaut sektor perikanan. Pada 2011 operasi kapal tersebut di Samudra Atlantik. Ia pun menjadi korban wanprestasi oleh agency dan/atau pemberi kerja yang tidak patuh pada perjanjian kerja yang telah disepakati kedua belah pihak.
“Saya tidak diberikan upah kerja dan hak-hak lain. Kurang lebih dua tahun bekerja di kapal tersebut tidak diberikan upah dengan alasan agency dan/atau pemberi kerja bangkrut atau Pailit,” terang Rahmat.
Ketika Rahmat tiba di Indonesia, ia mengadukan persoalan tersebut ke instansi terkait dan Kementerian Ketenagakerjaan dan Trasmigrasi. Namun, pihak terkait tidak bisa memproses persoalan karena belum adanya aturan dan/atau undang-undang yang mengaturnya sebagai pelaut sektor pernikanan di luar negeri tersebut.
“Maka jalan satu-satunya buat laporan pidana ke Bareskrim Polri terkait Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) atas saran Kuasa Hukum. Akan tetapi, ketika masuk ranah pidana secara otomatis hak kami selama bekerja itu akan hilang dikarenakan tidak ada aturan dalam UU No. 21/2007 tentang TPPO tersebut untuk membayar hak-hak selama bekerja,” lanjutnya.
Rahmat menegaskan, UU yang lama belum memberikan pelindungan bagi ABK khusus pelaut sektor perikanan. “Dengan adanya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia saya pribadi alhamdulilah bersyukur dan menyambut baik karena pemerintah hadir memberikan perlindungan hukum dan mengamanahkan UUD Tahun 1945 Pasal 28 ayat (1) bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jamian, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, maka sangat jelas UU PPMI ini melalui Pasal 4 ayat (1) huruf c tersebut sudah memberikan perlindungan hukum terhadap Pekerja Migran Indonesia sebagai pelaut sektor perikanan,” tegasnya.
Baca juga:
Pelaut Awak Kapal Perikanan Masuk Pekerja Migran, AP2I dan Agen ABK Keberatan
Visa Kerja Bebani Pelaut Indonesia
UU PPMI Lindungi Pelaut Awak Kapal dan Pelaut Perikanan dari Perdagangan Manusia
Ahli Pemohon: Pelaut Bukan Pekerja Migran
Sebagai tambahan informasi, MK pada Rabu (11/10/2023) menggelar sidang pendahuluan pengujian materiil Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPMI sebagaimana telah diubah dengan UU Cipta Kerja. Permohonan Nomor 127/PUU-XXI/2023 ini diajukan Imam Syafi’i selaku Ketua Umum Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I), Untung Dihako (Pemohon II), dan Ahmad Daryoko selaku Direktur PT Mirana Nusantara Indonesia (Pemohon III).
Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPMI menyatakan, “Pekerja migran Indonesia meliputi: … c. Pelaut awak kapal dan pelaut perikanan.” Menurut para Pemohon, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Imam Syafi’i (Pemohon I) menilai akibat keberlakuan norma tersebut berdampak pada tumbang tindih regulasi dari beberapa tingkatan undang-undang, di antaranya UU 17/2008 tentang Pelayaran, PP 31/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pelayaran, dan PP 22/2022 tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran. Dengan beralihnya kewenangan kementerian yang menyelenggarakan urusan pelayaran dari Kementerian Perhubungan ke Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), sehingga jaminan perlindungan serta hak bagi pelaut awak kapal dan pelaut perikanan yang telah diformulasikan pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelayaran tidak dapat diaplikasikan.
Sementara bagi Ahmad Daryoko (Pemohon III) yang merupakan perusahaan yang bergerak dalam aktivitas keagenan awak kapal, dirugikan pula atas ketentuan norma tersebut. Pemohon II wajib memiliki surat izin perekrutan pekerja migran Indonesia yang diterbitkan oleh Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran sebagaimana ditentukan Pasal 72 huruf c UU PPMI. Akibat ketentuan ini, Pemohon II dikriminalisasi dengan telah ditetapkannya sebagai tersangka dan saat ini dalam proses penahanan pada rumah tahanan negara oleh Penyidik Ditreskrimum Kepolisian Daerah Jawa Tengah dalam kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang.
Selian itu, norma tersebut juga berpotensi merugikan Pemohon III dalam menjalankan usaha keagenan awak kapal. Sebelumnya Pemohon III bekerja sama dengan agen awak kapal asing, baik dengan negara yang memiliki hubungan diplomatik atau pun tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Oleh karena itu, dalam petitum para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPMI sebagaimana telah diubah dengan UU Cipta Kerja bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28| ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.