JAKARTA, HUMAS MKRI – Sejumlah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta; University of Malaya, Malaysia; Universiti Teknologi Mara, Malaysia; Universitas Diponegoro, Jawa Tengah; Universitas Padjajaran, Jawa Barat; dan Universitas Warmadewa, Bali, mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (22/2/2024). Para mahasiswa merupakan peserta program pertukaran mahasiswa (Student Exchange Program) Tahun 2024 yang diselenggarakan oleh enam universitas mitra tersebut.
Asisten Ahli Hakim Konstitusi Luthfi Widagdo Eddyono menerima kunjungan dan memaparkan materi mengenai MK sebagai lembaga peradilan yang diberi mandat untuk mengadili permasalahan konstitusi di Indonesia. Luthfi mengatakan, MK yang didirikan pada 2003 merupakan lembaga penting dalam sistem hukum Indonesia yang bertanggung jawab menjaga konstitusi dan menegakkan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional.
“Independensi peradilan merupakan prinsip dasar Mahkamah Konstitusi yang menjamin Mahkamah Konstitusi dapat menjalankan tugasnya secara imparsial dan tanpa campur tangan,” ujar Luthfi mengawali diskusi di Ruang Delegasi Lantai 4 Gedung 1 MK, Jakarta Pusat.
Luthfi melanjutkan, demokrasi konstitusional ialah suatu bentuk pemerintahan yang menggabungkan unsur sistem konstitusional dan demokrasi. Selain Indonesia, negara yang menerapkan demokrasi konstitusional yaitu Amerika Serikat dan masih banyak negara lainnya. Namun, struktur spesifik dan fungsi demokrasi konstitusional mungkin berbeda berdasarkan konstitusi dan kerangka hukum masing-masing negara.
Dalam sistem politik seperti ini, jelas Luthfi, kekuasaan pemerintah dibatasi oleh konstitusi yang berfungsi sebagai hukum tertinggi di suatu negara dan menentukan kerangka kerja pemerintah. Konstitusi ini biasanya menguraikan organisasi pemerintahan, pembagian kekuasaan di antara berbagai cabang pemerintahan, serta hak-hak dasar dan kebebasan warga negara.
Luthfi juga menjelaskan, independensi peradilan mengacu pada prinsip bahwa peradilan harus bebas dari pengaruh atau campur tangan eksternal dan mampu mengambil keputusan secara tidak memihak tanpa takut akan pembalasan atau tekanan yang tidak semestinya dari cabang pemerintahan lain, individu yang berkuasa, atau kelompok kepentingan. Hal ini menjadi komponen penting dari sistem demokrasi untuk menegakkan supremasi hukum dan melindungi hak warga negara.
Berikutnya Luthfi menjelaskan empat kewenangan dan satu kewajiban MK. MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Kemudian, MK memiliki kewenangan tambahan yaitu memutus perselisihan tentang hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) karena perselisihan hasil pilkada masuk rezim pemilu.
Selain itu, MK wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden menurut UUD. Pelanggaran dimaksud disebutkan dan diatur dalam ketentuan Pasal 7A UUD 1945 yaitu melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Salah satu mahasiswa dari Universitas Padjajaran mempertanyakan soal banyaknya partai politik (parpol) di Indonesia. Menurut Luthfi, banyaknya parpol dipengaruhi pula oleh kondisi geografis, ribuan pulau, puluhan provinsi, ratusan bahasa daerah, 1.340 suku bangsa, keberagaman budaya, politik, serta agama. Warga negara mencari saluran loyalitas pada sebuah organisasi dengan membentuk partai untuk mengakomodasi kesamaan kehendak dan cita-cita demi memperjuangkan kepentingan rakyat.
Namun demikian, Indonesia menerapkan ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Artinya, partai politik harus memperoleh suara sekurang-kurangnya empat persen dari jumlah suara nasional untuk bisa memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: Nur R.