JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Selasa (20/2/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mewakili KPK sebagai Pihak Terkait dan Habiburrokman dari Komisi III DPR RI menyampaikan keterangan terhadap dalil dari permohonan Perkara Nomor 87/PUUXX/2023 yang diajukan oleh Gugum Ridho Putra (Pemohon).
Nurul Ghufron dalam keterangannya menyebutkan penanganan dan penegakan hukum tindak pidana korupsi oleh KPK yang pelakunya melibatkan unsur militer dan masyarakat sipil tidak melalui prosedur koneksitas, melainkan digunakan metode splitzing (pemisahan berkas perkara). Artinya, pelaku dari unsur sipil ditangani oleh KPK dan pelaku dari unsur militer ditangani oleh TNI. Lahirnya dinamika kesepakatan penanganan perkara secara splitzing ini, sambung Ghufron, dilatarbelakangi beberapa permasalahan yang muncul sebagai isu pada saat pembahasan penanganan masing-masing perkara tersebut. Beberapa persoalan yang muncul, di antaranya KPK dipandang tidak berwenang untuk menangani perkara yang melibatkan Pelaku dari unsur militer; terdapat pandangan bahwa KPK tidak memiliki kewenangan menangani perkara koneksitas, karena tidak diatur secara tegas dalam KUHAP dalam UU Peradilan Militer; KPK dipandang tidak memiliki kewenangan secara atributif untuk membentuk unit khusus yang menangani perkara koneksitas; dan adanya nota kesepahaman antara KPK dan TNI yang ada saat ini belum menegaskan arah kemungkinan penanganan perkara secara koneksitas.
Ghufron melanjutkan keadaan inilah yang kemudian menjadi tantangan tersendiri bagi KPK dalam menginisiasi penanganan perkara yang Pelakunya melibatkan unsur militer dan unsur sipil yang dapat dilakukan melalui prosedur koneksitas. Pada akhirnya, Ghufron menyatakan, hal tersebut mendasari pada pilihan untuk membuat kesepakatan dengan pihak TNI guna menangani perkara secara splitzing, sehingga faktor-faktor yang ada tersebut seolah-olah menutup peluang penanganan perkara secara koneksitas. Namun pada praktiknya, metode splitzing yang melahirkan pemisahan penanganan dalam dua sistem peradilan yang berbeda yakni peradilan umum dan peradilan militer pada akhirnya menimbulkan problematika hukum.
“Apabila dalam pengujian undang-undang ini, frasa kata ‘penyidik’ tidak dimaknai termasuk pula penyidik KPK, frasa kata ‘Jaksa atau Jaksa Tinggi’ atau ‘Penuntut Umum’ atau ‘Jaksa Agung’ tidak dimaknai termasuk pula sebagai Jaksa pada KPK dan Pimpinan KPK, maka akan menimbulkan dualisme dalam standar proses penanganan perkara dan dalam penjatuhan hukuman akan tetap terjadi. Mengingat faktanya, berdasarkan Undang-Undang Peradilan Militer penanganan perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan dapat diproses menggunakan mekanisme koneksitas, namun perkara korupsi yang ditangani oleh KPK dilakukan dengan mekanisme splitzing,” terang Ghufron dari Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK, Jakarta.
Dualisme Standar Proses Penanganan Perkara
Lebih jelas Ghufron menyampaikan, adanya dualisme dalam standar proses penanganan perkara dan dalam penjatuhan hukuman ini seharusnya dihindari dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Sejatinya, larangan dualisme dalam proses peradilan ini pernah diputusn MK dalam Putusan MK Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006. Intinya, Pengadilan Tipikor sebagai suatu sistem pidana khusus pada saat penyatuan Pengadilan Tipikor pada KPK ke Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri. Sehingga KPK juga dapat melakukan proses penanganan perkara koneksitas sebagaimana telah dilakukan oleh Kejaksaan dan Oditurat Militer.
Pada simpulannya, KPK menilai bahwa norma ini sejatinya belum dapat diimplementasikan bagi tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum yang penegakkannya dilakukan oleh KPK. Sebab norma yang dimaksudkan masih mengandung problem konstitusional berupa bertentangan dengan independensi KPK. Ditambah pula norma yang bersangkutan tidak lagi sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, berupa asas kejelasan tujuan, asas dapat dilaksanakan, dan asas kedayagunaan dan kehasilgunaan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022. “Sehingga, secara teleologis norma ini perlu untuk ditafsirkan maknanya agar memenuhi kaidah-kaidah dan tujuan yang diharapkan,” jelas Ghufron.
Komitmen KPK dengan TNI dalam Penanganan Korupsi
Sementara itu, Habiburrokman dari Komisi III DPR RI mengatakan dalam peraturan perundang-undangan sudah secara jelas dan tegas mengatur kewenangan KPK untuk dapat mengkoordinasikan dan mengendalikan setiap tahapan penegakan hukum tindak pidana korupsi, termasuk yang dilakukan oleh pelaku yang berasal dari kalangan militer. Selain itu, terdapat MoU antara KPK dengan TNI, serta mekanisme baik KPK, jika pelakunya dari kalangan prajurit TNI aktif. Hal tersebut menunjukkan telah adanya komitmen antara KPK dengan TNI dalam penanganan tindak pidana korupsi.
Sebagaimana diketahui bahwa KPK diberikan kewenangan untuk mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum. Keberadaan UU KPK yang merupakan lex spesialis dalam penanganan perkara dugaan korupsi yang menyatakan sebagai lembaga independen yang dibentuk dengan tugas untuk memberantas tindak pidana korupsi secara efektif dan efisien, memberikan kewenangan kepada KPK untuk mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
“Oleh karena itu, norma yang diujikan terserbut telah secara jelas memaknai siapa yang dimaksud sebagai penyelenggara negara yang meliputi penyelenggara negara, baik itu di lingkungan sipil, militer, dan juga kepolisian, dan lainnya. Sehingga DPR RI memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 26 ayat (4) dan Pasal 42 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dan seterusnya, tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum yang mengikat,” sebut Habiburrokman saat membacakan petitum yang dimohonkan DPR RI kepada Mahkamah.
Baca juga:
Memperkuat Kewenangan KPK dalam Penyidikan Tipikor Koneksitas
Pemohon Uji UU KPK Ubah Kedudukan Hukum
MK Tunda Sidang Uji Kewenangan Penyidikan Tindak Pidana Koneksitas
Sebagai tambahan informasi, Perkara Nomor 87/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Gugum Ridho Putra (Pemohon). Pemohon mengujikan secara materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap UUD 1945.
Pemohon menguji Pasal 42 UU KPK. Kemudian kata “Penyidik” pada ketentuan Pasal 89 ayat (2), frasa kata “Menteri Kehakiman” pada Ketentuan Pasal 89 ayat (1), Pasal 89 ayat (3), Pasal 91 ayat (2) dan Pasal 94 ayat (5), frasa kata “jaksa atau jaksa tinggi” pada ketentuan Pasal 90 ayat (1), ketentuan Pasal 90 ayat (3), Pasal 91 ayat (1), dan Pasal 91 ayat (3), frasa kata “jaksa tinggi” pada ketentuan Pasal 93 ayat (1), frasa kata “Jaksa Agung” pada ketentuan Pasal 90 ayat (3), Pasal 93 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), frasa kata “Penuntut Umum” pada ketentuan Pasal 91 ayat (1), Pasal 92 ayat (1), dan Pasal 93 ayat (1) KUHAP.
Pemohon menyebut kerugiannya terkait kewenangan penyidikan tindak pidana koneksitas atau tindak pidana yang melibatkan pihak-pihak dari kalangan sipil maupun kalangan militer pada saat bersamaan khususnya untuk tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK. Pemohon mencermati penanganan perkara-perkara korupsi yang mengandung koneksitas di KPK lebih condong mengedepankan penghukuman kepada pelaku dari kalangan sipil saja. Pemohon meyakini, ketidakprofesionalan KPK menangani perkara koneksitas itu disebabkan oleh ketidakjelasan norma-norma yang mengatur penyidikan dan penuntutan tindak pidana koneksitas.
Oleh karena itu, Pemohon dalam petitumnya meminta MK menyatakan UU KPK dan KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Antara lain yaitu frasa kata “mengkoordinasikan dan mengendalikan” pada Ketentuan Pasal 42 UU KPK dimaknai KPK RI wajib mengkoordinasikan dan mengendalikan penanganan perkara tindak pidana korupsi koneksitas sesuai Ketentuan Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 KUHAP. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.