JAKARTA, HUMAS MKRI – Seorang ayah bernama Fathul Hadie Utsman bersama anaknya AD. Afkar Rara mengajukan permohonan pengujian materi Pasal 14 huruf c, Pasal 342 ayat (2), Pasal 414 ayat (1), Pasal 415 ayat (2), Pasal 419, Pasal 420 huruf b, c, dan d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya menilai norma-norma pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 19 ayat (1), Pasal 28C ayat (1) dan (2), 28D ayat (1) dan (2), Pasal 28F, Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Fathul menguraikan maksud dari pengajuan uji materi pasal-pasal tersebut. Pertama, pada intinya para Pemohon ingin Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan sosialisasi para calon legislatif (caleg) baik melalui media massa, media sosial (medsos), bahkan mendatangi rumah-rumah warga secara langsung untuk setidak-tidaknya menginformasikan nama-nama caleg yang berkontestasi.
“Jangankan kualitas, untuk nama dan foto saja masyarakat tidak tahu, tahunya itu hanya foto-foto yang ditempel di jalan-jalan. Kami mohon di sini bahwa dalam pasal tersebut harus ada sosialisasi daripada caleg-caleg,” ujar Fathul dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 21/PUU-XXII/2024 yang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat pada Selasa (20/2/2024) di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat.
Para Pemohon mengaku tidak dapat memperoleh informasi maksimal tentang visi, misi partai, dan profil caleg meskipun terdapat Pasal 14 huruf c yang mewajibkan KPU menyampaikan semua informasi penyelenggaraan pemilu kepada masyarakat. Dengan demikian, hak Pemohon untuk memperoleh informasi tersebut tidak dapat dipenuhi.
Selain itu, para Pemohon mengatakan, surat suara yang dimaksud pada Pasal 342 ayat (2) tidak memudahkan pemilih dalam mencoblos. Kemudian, caleg yang para Pemohon pilih ada kemungkinan tidak bisa menjadi anggota DPR walaupun suaranya memenuhi syarat perolehan satu kursi apabila partai politiknya (parpol) tidak memenuhi ambang batas minimal empat persen suara nasional sebagaimana diatur Pasal 414 ayat (1).
Di tambah lagi suara Pemohon bisa hilang karena parpol yang tidak memenuhi ambang batas tersebut tidak disertakan pada penghitungan kursi DPR di setiap daerah pemilihan (dapil) berdasarkan ketentuan Pasal 415 ayat (1). Lalu ada Pasal 415 ayat (2) yang mengatur bahwa penghitungan perolehan kursi DPR, suara sah setiap parpol yang memenuhi ambang batas perolehan suara dibagi dengan bilangan pembagi 1 dan diikuti secara berurutan bilangan ganjil 3, 5, 7 dan seterusnya, bukan menggunakan sistem suara terbanyak.
“Kerugian tersebut bersifat normatif dan masif dan akan menimpa semua pihak yang terkait manakala pasal-pasal tersebut a quo tidak dinyatakan bertentangan dengan UUD RI 1945,” kata Fathul yang merupakan warga Banyuwangi, Jawa Timur.
Saran Perbaikan
Majelis Panel Hakim Konstitusi secara kompak menyarankan para Pemohon untuk memfokuskan pasal yang diuji beserta batu ujinya. Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan para Pemohon terlalu banyak mengajukan norma-norma yang diuji namun tidak secara jelas menguraikan pertentangan antara pasal-pasal tersebut dengan dasar pengujiannya serta kerugian konstitusional yang dialami.
“Semakin banyak yang dimohonkan pengujian dan semakin banyak batu ujinya ya menuntut Pemohon untuk harus menguraikan itu dengan meyakinkan, apa sesungguhnya pertentangan norma ini dengan Undang-Undang Dasar,” kata Enny.
Kemudian Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyarankan perbaikan permohonan mulai dari penulisan perihal, kewenangan MK, legal standing atau kedudukan hukum Pemohon, posita atau alasan permohonan, sampai petitum sesuai ketentuan Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Menurut Arief, petitum Pemohon tidak lazim.
Sebelum menutup persidangan, Wakil Ketua MK Saldi Isra menginformasikan bahwa para Pemohon mempunyai waktu untuk memperbaiki permohonan selama 14 hari. Perbaikan paling lambat diterima MK pada 4 Maret 2024 pukul 09.00 WIB.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.