JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK kembali menggelar sidang terhadap permohonan Wiwit Purwito yang menguji Pasal 48 ayat (4) huruf e Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran). Sidang kedua Perkara Nomor 11/PUU-XXII/2024 tersebut digelar di Ruang Sidang Pleno MK dengan dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih bersama dengan Hakim konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim konstitusi Ridwan Mansyur pada Senin (19/2/2024).
Melalui Hosnika Purba, Pemohon menyebutkan beberapa hal yang telah disempurnakan pada permohonannya. Beberapa di antaranya yaitu memperbaiki surat kuasa, melakukan penguatan legal standing Pemohon, berupa potensi kerugian yang akan dialami karena Pemohon memiliki tiga orang anak yang di masa mendatang berpotensial dirugikan, dan memperbaiki petitum permohonan.
“Maka Petitum barunya menjadi, Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 48 ayat (4) huruf e Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dumaknai larangan menampilkan tempat pendidikan sekolah setingkat SLTA/Sederajat atau memakai seragam sekolah peradegan percintaan lawan jenis,” sebut Hosnika yang mewakili Pemohon langsung dari Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK, Jakarta.
Baca juga: Menyoal Ketiadaan Perlindungan Anak dari Dampak Negatif Tayangan Televisi
Untuk diketahui, Pemohon yang berprofesi sebagai karyawan swasta ini pada Sidang Pendahuluan yang dilaksanakan pada Jumat (2/2/2024) lalu menyatakan, pasal yang diujikan dinilai bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2), Pasal 28C, dan Pasal 28F UUD 1945. Dalam perkara ini, Pemohon ingin adanya penegasan atas batasan dari perlindungan anak dalam mengonsumsi dunia perfilman. Sebab, saat ini semakin marak dunia perfilman yang mengandung unsur kekerasan, adegan percintaan dan dewasa, sehingga menimbulkan dampak negatif bagi anak dan remaja. Pemohon dalam permohonannya juga menyebutkan beberapa contoh sinetron atau film yang ditayangkan televisi yang berdampak negatif bagi anak dan remaja, di antaranya “Anak Jalanan”, “Ganteng-Ganteng Serigala”.
Film-film demikian, sambung Hosnika, sangat jarang menampilkan adegan positif seperti semangat belajar, motivasi belajar, sementara reka adegan dilakukan di kawasan sekolah atau mengenakan seragam sekolah. Dari hal-hal tersebut, anak atau remaja cenderung meniru segala tingkah yang ditunjukkan oleh orang dewasa yang sering dilihat dan didengarnya. Sehingga, dapat dipastikan tayangan-tayangan televisi tersebut membuat para orang tua khawatir dengan tumbuh kembang dan karakter anak-anak yang terpapar dengan tayangan yang sarat dengan pesan negatif tersebut. Oleh karenanya, lembaga penyiaran (dalam hal ini KPI) yang menjadi media komunikasi massa yang memiliki peran penting dalam kehidupan sosial, bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan dan penyaringan serta penyeleksian dunia film yang layak bagi anak dan remaja. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.