JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materiil aturan mengenai syarat pengangkatan jaksa agung sebagaimana diatur dalam UU Kejaksaan, pada Senin (19/2/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan yang diajukan oleh Jovi Andrea Bachtiar ini menguji norma Pasal 20 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 (UU Kejaksaan). Agenda sidang kedua Perkara Nomor 6/PUU-XXII/2024 ini adalah perbaikan permohonan.
Pasal 20 UU Kejaksaan menyatakan, “Untuk dapat diangkat menjadi Jaksa Agung harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Warga Negara Indonesia; b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; d. Berijazah paling rendah Sarjana Hukum; e. Sehat jasmani dan rohani; dan f. Berintegritas, berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.” Di hadapan Panel Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra tersebut, Jovi menjabarkan bahwa ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 2 ayat (1), dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Dalam sidang perbaikan tersebut, Jovi menyebutkan telah memperbaiki kedudukan hukum Pemohon dengan memperjelas poin g dan i. “Pada intinya menjelaskan terdapat perbedaan logika dan petitum yang mengharuskan dan menyebabkan permohonan ini diuji kembali dapat diuji kembali terlepas dikabulkan atau tidak,” ujarnya.
Sementara untuk kerugian konstitusionalnya, Jovi menegaskan tidak terdapat perbaikan. “Di alasan-alasan permohonan terdapat beberapa penambahan di halaman 25. Disana mengutip Yang Mulia Arief Hidayat yang menyatakan harus ada sinar Ketuhanan didalam penegakan hukum Indonesia yang membuat keyakinan pemohon yang berkeyakinan posisi jaksa agung harus bebas dari intervensi politik. Dan ada penambahan disini ada pada poin 11 dan 12,” terang Jovi.
Baca juga: MK Diminta Memuat Syarat Larangan Anggota Parpol Jadi Jaksa Agung
Sebelumnya, pada sidang pendahuluan Jovi menyebutkan keterlibatan aktif penegak hukum dalam pragmatisme politik dengan sedang atau merangkap menjadi anggota politik dinilai akan merusak independensi kejaksaan secara inkonstitusional, utamanya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Sebab, sambung Jovi, jaksa agung yang memiliki keterlibatan dengan partai politik sangat memungkinkan adanya kontrak politik atau mendapatkan tekanan dari kolega politiknya.
“Terlebih lagi, saat ini belum ada mekanisme checks and balances berupa fit and proper test pada proses pengangkatan dan pemberhentian jaksa agung. Sehingga, jaksa agung dapat saja diberhentikan dari jabatannya apabila dianggap membangkang dari kolega politiknya,” sebut Jovi.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menambahkan syarat “g. Tidak sedang terdaftar sebagai anggota partai politik atau setidak-tidaknya telah 5 (lima) tahun keluar dari keanggotaan partai politik baik diberhentikan maupun mengundurkan diri” dalam Pasal 20 UU Kejaksaan. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha