JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan terhadap pengujian materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) pada Senin (19/2/2024). Sidang lanjutan Perkara Nomor 135/PUU-XXI/2023 ini beragendakan mendengarkan keterangan DPR dan presiden.
Namun, DPR berhalangan hadir, sementara pemerintah belum siap memberikan keterangan di persidangan. Keduanya meminta sidang agenda mendengarkan keterangan DPR dan presiden ini dijadwalkan ulang.
“Tetapi tetap dengan disclaimer Ibu, jadi ini kesempatan terakhir ya, ketika nanti jadwal diberikan kembali tidak memberikan, kami akan lanjutkan dengan pembuktian nanti. Jadi Mahkamah kemudian memberikan pengunduran sidang hingga Rabu, 28 Februari 2024 pukul 13.30 WIB,” ujar Ketua MK Suhartoyo memimpin sidang di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.
Dia mengingatkan pemerintah bahwa ini kesempatan terakhir, jika pada kesempatan berikutnya tidak juga memberikan keterangan, maka Mahkamah menganggap pemerintah melepaskan haknya untuk memberikan keterangan. Suhartoyo pun kemudian menutup persidangan.
Baca juga:
Mempertanyakan Peran Negara dalam Kesejahteraan Dosen Perguruan Tinggi Swasta
Dugaan Ketimpangan Gaji dan Tunjangan, Dosen PTS Sempurnakan Permohonan
Sebagai informasi, Perkara Nomor 135/PUU-XXI/2023 ini berkaitan dengan Sidang pengujian Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Permohonan diajukan oleh Teguh Satya Bhakti selaku dosen Fakultas Hukum Universitas Krisna Dwipayana, Kota Bekasi, Jawa Barat dan Fachri Bachmid seorang dosen Universitas Muslim Indonesia Makassar.
Pemohon menyebutkan pada dasarnya kewajiban negara (pemerintah) terhadap perguruan tinggi swasta (PTS) dan perguruan tinggi negeri (PTN) seharusnya dipenuhi dan/atau diperlakukan secara sama dan setara. Adapun pembeda antara PTN dan PTS hanya pada konteks pendirian dan penyelenggaranya saja, yakni bahwa PTN didirikan dan/atau diselenggarakan langsung oleh Pemerintah, sedangkan PTS didirikan dan/atau diselenggarakan oleh masyarakat.
Kuasa hukum Pemohon, Viktor Santoso Tandiasa, menyampaikan dalam Dana Pendidikan Tinggi yang bersumber dari APBN dan/atau APBD tidak dialokasikan untuk gaji pokok dosen, maka kewajiban atas gaji dosen sebagaimana diatur dalam Pasal 70 ayat (3) UU 12/2012 ditetapkan berdasarkan kemampuan tiap-tiap PT. Sehingga untuk mengukur kemampuan PTS tersebut menggunakan standar Upah Minimum (UMK). “Mengingat Pasal 70 ayat (2) UU 12/2012 terhadap pengangkatan dan penempatan dosen dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja yang mengacu pada UU 13/2003,” imbuh Viktor.
Selain itu, Viktor juga menyebut pembebanan kewajiban pemberian gaji pokok dosen PTS hanya kepada badan penyelenggara jelas berdampak pada timbulnya ketidaksetaraan/kesenjangan/ketimpangan gaji pokok dosen PTS. Ketidaksetaraan/kesenjangan/ketimpangan tidak hanya terjadi antara gaji pokok dosen PTS dengan dosen PTN. Akan tetapi, lanjutnya, juga terjadi antara sesama dosen PTS. PTS yang berada di bawah naungan badan penyelenggara dengan kemampuan sumber daya keuangan yang tinggi dan berkedudukan di daerah dengan ketentuan Upah Minimum yang tinggi, tentu akan memberikan gaji pokok yang tinggi pula kepada para dosennya.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memeriksa dan mengadili permohonan yang menyatakan Pasal 70 ayat (3) UU Dikti sepanjang frasa “Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikut sepanjang tidak dimaknai “Badan penyelenggara sebagaimana dimaksud ayat (2) wajib memberikan gaji pokok serta tunjangan kepada dosen dan tenaga kependidikan yang dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan.atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah”. (*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F