BALI, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mengisi kuliah umum tentang pengujian Perpu di Mahkamah konstitusi (MK) di Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas), Denpasar, Bali, pada Jumat (16/2/2024). Kegiatan tersebut dilaksanakan di Ruang Teater Fakultas Hukum dan terisi penuh oleh para mahasiswa dan para dosen, juga dihadiri Dekan Fakultas Hukum Undiknas Ni Nyoman Juwita Arsawati.
Memulai kuliah umumnya, Daniel menjelaskan secara umum tentang kewenangan MK. Menurutnya, MK memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, dan MK juga wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden.
“Dalam perjalanan selanjutnya, MK juga memiliki kewenangan untuk menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau yang biasa disebut Perpu. Kewenangan ini didasarkan pada Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Selain itu, MK juga memiliki kewenangan tambahan mengadili sengketa hasil Pilkada berdasarkan Putusan MK. No. 85/PUU-XX/2022,” terang Daniel.
Selanjutnya, Daniel juga menjelaskan tentang konsep hukum tata negara darurat. Menurutnya, secara doktriner pembedaan hukum tata negara normal dan hukum tata negara darurat dikenal sebagai constitutional dualism atau dualisme konstitusional. Dengan mengutip pendapat John Ferejohn dan Pasquale Pasquino, Daniel menyatakan bahwa dalam dualisme konstitusional harus ada ketentuan yang mengatur dua sistem hukum yang berbeda, yaitu sistem hukum yang berlaku untuk keadaan normal dan sistem hukum yang berlaku yang berlaku untuk keadaan yang bersifat darurat.
Selain itu, Daniel juga menerangkan terkait ketentuan konstitusional keberadaan Perpu di dalam konstitusi Indonesia. Menurutnya, di dalam UUD RIS 1945 dan UUD Sementara 1950, istilah yang dipakai bukanlah Perpu tetapi undang-undang darurat. Syarat untuk bisa menetapkan UU darurat tersebut apabila “ada keadaan yang mendesak”. Sedangkan menurut UUD 1945, syarat untuk mengeluarkan Perpu adalah apabila ada keadaan “kegentingan yang memaksa.”
“Dengan syarat seperti itu yaitu harus ada kegentingan yang memaksa, maka sudah seharusnya Perpu dikeluarkan dari HTN normal, dan dimasukkan ke dalam HTN darurat. Hal ini dikarenakan, mekanisme penetapan dan keberlakukan Perpu tersebut langsung saat itu juga sejak ditandatangani oleh Presiden,” jelas Daniel.
Oleh karena Perpu seharusnya diletakkan dalam sistem HTN darurat, menurut Daniel berdasarkan hasil riset disertasinya, maka Perpu seharusnya juga dikeluarkan dari tata urutan perundan-undangan normal karena dia lahir dari HTN darurat. Konsekuensinya, Perpu tidak boleh ada dalam sistem tata urutan perundang-undangan, sebagaimana peraturan lainnya (seperti UU, PP, dan lain-lain). Dia harus berdiri sendiri yang baru akan muncul pada saat ada ihwal kegentingan yang memaksa.
Selanjutnya Daniel menyajikan sejumlah data terkait dengan Perpu dari tahun 1946 sampai dengan sekarang. Dari data yang tersaji, terlihat bahwa `Presiden yang paling banyak mengeluarkan Perpu adalah Presiden Soekarno, yaitu sebanyak 143 buah.
“Perpu paling banyak dikeluarkan pada era Presiden Soekarno. Hal ini bisa dimaklumi karena pada saat itu negara masih dalam keaadaan darurat. Dari riset disertasi saya, negara baru bisa dikatakan dalam keadaan normal setelah Pemilu tahun 1971 yang mana lembaga-lembaga negara, seperti MPR-DPR, sudah terisi secara permanen.” Jelas Daniel.
Lebih lanjut Daniel menjelaskan bahwa para Presiden setelah era Presiden Soekarno, sudah tidak banyak yang mengeluarkan Perpu. Menurutnya, selain Presiden Soekarno, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah Presiden yang paling banyak mengeluarkan Perpu. Dalam masa pemerintahannya, ia mengeluarkan Perpu sebanyak 19 buah.
Dalam kesempatan tersebut, Dekan Fakultas Hukum Undiknas I Nyoman Juwita Arsawati, dalam sambutannya menyampaikan ucapan terima kasih dan rasa syukur atas kehadiran hakim konstitusi Daniel Yusmic yang telah meluangkan waktu dan berkenan berbagai ilmu dan pengalaman kepada para mahasiswa dan civitas akademika Fakultas Hukum Unidiknas. Ia meyakini bahwa kesempatan seperti ini adalah kesempatan yang langka sehingga harus digunakan sebaik-baiknya oleh para mahasiswa dan juga para dosen.
“Saya juga izin menyampaikan sekiranya nanti para mahasiswa FH Undiknas diberikan kesempatan untuk berkunjung ke MK, bahkan lebih dari itu, semoga diberi kesempatan juga untuk magang di kantor Mahkamah Konstitusi,” tandasnya. (*)
Penulis: A. Ghoffar
Editor: Lulu Anjarsari P.