JAKARTA HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Selasa (13/2/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 25/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh seorang Jaksa aktif bernama Jovi Andrea Bachtiar.
Sidang dengan agenda pemeriksaan pendahuluan ini dilaksanakan oleh panel hakim yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo bersama Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Hakim Konstitusi Arsul Sani. Adapun materi yang diujikan oleh Pemohon yakni Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 6 huruf a, dan Pasal 6 ayat (1) KUHAP dan Pasal 45 ayat (1) UU KPK.
Kuasa hukum Pemohon, Muhammad Ardi Langga, dalam persidangan menyampaikan adanya pertentangan normatif baik berupa politik hukum maupun substansi pengaturan dalam KUHAP dan UU Kejaksaan yang apabila menggunakan penalaran yang wajar berpotensi besar dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bahkan menjadi sesuatu yang akan sering dipersoalkan terkait kewenangan Jaksa melakukan penyidikan tindak pidana tertentu (khususnya tindak pidana korupsi).
“Karena pertentangan normatif yang ada terkait definisi penyidik dalam KUHAP dan UU Kejaksaan tersebut menimbulkan ambiguitas (contradictio in terminis) terkait konstitusional atau tidaknya kewenangan Jaksa melakukan penyidikan perkara tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang (khususnya pada perkara tindak pidana korupsi),” kata Ardi.
Kewenangan Penyidikan Jaksa
Posisi atau kedudukan Jaksa melakukan penyidikan, menurut Pemohon seharusnya dapat dipahami bukan kapasitasnya sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang merupakan salah satu unsur yang membantu Polri dalam mengemban fungsi kepolisian melainkan kewenangan atributif Jaksa sebagai pemilik perkara (dominus litis). Terlebih terdapat politik hukum yang berkembang pasca pembentukan dan pengesahan KUHAP pada tahun 1981 sebagaimana menunjukkan adanya pemberian kewenangan kepada beberapa lembaga atau pejabat tertentu untuk melakukan penyidikan pada perkara tindak pidana korupsi. Adapun lembaga atau pejabat yang dinyatakan berwenang melakukan penyidikan korupsi adalah Penyidik di Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa selaku Penyidik yang bekerja di instansi Kejaksaan Republik Indonesia, dan Penyidik pada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ardi menerangkan, salah satu kewenangan penyidikan Jaksa adalah Jaksa melakukan penyidikan berdasarkan UU KPK dan UU Tipikor. Namun, tidak ada satu pun pengaturan lebih lanjut yang secara eksplisit dalam UU KPK yang menyatakan bahwa Jaksa memiliki kewenangan atributif untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Bahkan Pasal 45 ayat (1) UU KPK secara expressis verbis hanya menyatakan bahwa, “Penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.”
Padahal menurut Pemohon, seharusnya UU KPK yang dinyatakan dalam Penjelasan Umum UU Kejaksaan sebagai rujukan bagi Jaksa untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi secara eksplisit mencantumkan atau menyatakan bahwa Jaksa berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Dengan kata lain, seharusnya Pasal 45 ayat (1) UU KPK menyatakan bahwa penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, pejabat Kepolisian Republik Indonesia, atau Jaksa. Sehingga wajar apabila muncul anggapan bahwa Jaksa tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Hal ini merupakan bentuk ambiguitas dalam pemaknaan (contradictio in terminis) yang muncul akibat tidak adanya penegasan kewenangan Jaksa melakukan penyidikan tindak pidana korupsi dalam Pasal 45 ayat (1) UU KPK. Oleh karena itu, menurut Pemohon Pasal 45 ayat (1) UU KPK bertentangan dengan prinsip kepastian hukum dalam konsepsi negara hukum sebagaimana diatur pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Perjelas Kewenangan Jaksa
Ardi pun menegaskan, pada intinya Pemohon ingin MK memperjelas kewenangan Jaksa melakukan penyidikan tindak pidana tertentu (khususnya tindak pidana korupsi) dalam KUHAP dan UU KPK supaya terdapat kepastian hukum dalam konsepsi negara hukum (rechtstaats) sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 1 angka 1 KUHAP bertentangan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak diartikan “Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa yang diberikan kewenangan khusus melakukan penyidikan perkara tertentu berdasarkan undang-undang, pegawai negeri sipil tertentu, atau pejabat lain yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.”
Pemohon juga meminta MK menyatakan Pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak diartikan “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.”
Kemudian, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 6 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak diartikan “Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa yang diberikan kewenangan khusus melakukan penyidikan perkara tertentu berdasarkan undang-undang, pegawai negeri sipil tertentu, atau pejabat lain yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.”
Selain itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 45 ayat (1) UU KPK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak diartikan, “Penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, pejabat Kepolisian Republik Indonesia, atau Jaksa.”
Saran Perbaikan
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menyampaikan permohonan pemohon telah cukup baik dan sesuai baik struktur maupun format dengan PMK 2/2021. Akan tetapi, pada bagian legal standing, uraiannya terlihat cukup panjang.
“Hubungannya antara Pemohon dengan kerugian konstitusionalnya masih kurang pas, walaupun sudah pernah Pemohon mendalilkan bahwa sudah beberapa kali berhasil walaupun putusannya sebagaimana disampaikan itu menjadi diakui legal standing-nya di putusan-putusan sebelumnya. Tetapi ini berbeda, kalau sebelumnya kan yang diuji UU Kejaksaan, UU Tindak Pidana Korupsi. Kalau yang ini kan yang diuji itu Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Jadi tidak sama, tidak semestinya sidang di MK otomatis ada legal standing-nya. Harus dikaitkan dengan apa yang diuji dan pasal mana yang diujikan itu,” terang Ridwan.
Sementara Hakim Konstitusi Arsul Sani mengatakan Pemohon lebih banyak menguraikan tentang capaian Kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi ketimbang kerugian konstitusional pemohon sebagai WNI dengan tidak tegas dicantumkannya jaksa pada pasal-pasal dalam KUHAP terkait yang dimohonkan maupun UU KPK.
Pada akhir persidangan, panel hakim memberikan waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. “Mahkamah memberikan waktu perbaikan sampai dengan 14 hari, jadi tanggal 26 Februari 2024 hari Senin pukul 09.00 pagi,” ucap Suhartoyo.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.