JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) pada Senin (12/2/2024). Perkara Nomor 16/PUU-XXII/2024 ini dimohonkan oleh Albert Ola Masan Setiawan Muda yang merupakan seorang mahasiswa dari Universitas Internasional Batam.
Pasal 68 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon adalah Pemerintah”. Menurut Pemohon, pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Pemohon melalui kuasa hukumnya, Risky Kurniawan menyebutkan partai politik mempunyai posisi dan peranan yang sangat penting dalam sistem demokrasi. Selain itu, partai politik juga memainkan peran sebagai penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Dalam kaitannya dengan keberadaan jabatan presiden dan wakil presiden saat pemilihan umum, perorangan warga negara harus melalui jalur rekrutmen partai politik sebagaimana ketentuan Pasal 29 UU Partai Politik. Sebagaimana diketahui, pemilu merupakan sarana perwujudan hak untuk memilih yang mekanisme pelaksanaannya harus diselenggarakan secara jujur dan adil serta demokratis.
Pemohon merasa dirugikan karena pasal tersebut telah membatasi hak Pemohon untuk membubarkan partai-partai yang tersangkut kasus korupsi yang dilakukan oleh pimpinan dan anggota partai yang memiliki jabatan publik. Sekiranya Kasus-kasus tersebut berpotensi untuk membubarkan partai-partai yang bersangkutan, muncul pertanyaan, bagaimana kalau partai politik yang dianggap melakukan pelanggaran itu adalah bagian dari Pemerintah dan Presiden?
Akan tetapi, menurut Pemohon, dengan tidak diberikannya hak membubarkan partai politik kepada perseorangan warga negara dan dilimpahkan dalam kewenangan pemerintah, berimplikasi pada adanya abuse of power yang sarat akan tindakan yang mengutamakan kepentingan tertentu, baik diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Sehingga, hal tersebut berpotensi melanggar Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, Pemohon meminta agar pembubaran partai politik yang korupsi dapat dilakukan oleh perseorangan warga negara.
Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 68 ayat (1) UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pemohon adalah Pemerintah atau Perorangan warga negara indonesia”.
“MK dapat mengeluarkan putusan positive legislator karena faktor keadilan, situasi yang mendesak, dan menghindari kekacauan hukum dalam masyarakat. Sehingga untuk memastikan pemilu dapat terselenggara secara jurdil, maka pemerintah bisa membubarkan partai yang korupsi sebelum pemilihan,“ jelas Risky.
Perkuat Dalil
Atas permohonan ini, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memberikan catatan nasihat mengenai perlu bagi Pemohon untuk mengaitkan pertentangan pasal yang diujikan dengan UUD 1945. Selanjutnya, Pemohon diharapkan dapat menyajikan konvensi internasional yang dapat memperkuat dalil serta posita yang harus didukung dengan alternatif permohonan yang diinginkan.
Sementara Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur memberikan catatan nasihat agar Pemohon dapat memberikan referensi-referensi asing terkait persoalan yang diajukan agar memperkaya alasan permohonan.
“Saudara harus bandingkan dari perkara yang pernah dimohonkan ke MK dan dalami materi-materinya, sehingga persandingannya terlihat perbedaannya, baik alasan pengujian dan dasar pengujiannya. Agar MK dapat mengubah pendiriannya dari perkara serupa sebelumnya,” jelas Ridwan.
Berikutnya Ketua MK Suhartoyo menyebutkan kepada Pemohon untuk menyempurnakan bagian penutup bagian kewenangan yang sesuai dengan ketentuan sistematika permohonan yang telah baku. Kemudian Pemohon juga diminta untuk membuat narasi yang menyatakan kerugian faktual dan potensial yang dialami dari keberlakuan norma yang diujikan.
Pada penghujung persidangan, Ketua MK Suhartoyo menyebutkan Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonan. Untuk selanjutnya dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Senin, 26 Februari 2024 pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.