JAKARTA, HUMAS MKRI – Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) merampas hak pekerja. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Pengurus DPC FSP LEM SPSI Kabupaten/Kota Bekasi Yosep Ubaama Kolin yang dihadirkan oleh Pemohon Perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023. Sidang lanjutan uji materiil UU Cipta Kerja ini digelar untuk dua perkara, yakni Perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023 dan 61/PUU-XXI/2023. Sidang tersebut digelar pada Rabu (7/2/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.
Keterangan Yosep tersebut juga sekaligus menjawab pertanyaan dari Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. Sebelumnya, Enny mempertanyakan perbedaan antara UU Ketenagakerjaan sebelum diubah dengan UU Cipta Kerja di mata para pekerja.
“Bagi saya, Undang-Undang ini (UU Cipta Kerja, red.) merupakan bentuk perampasan hak-hak kami sebagai pekerja. Seolah-olah paradigmanya Pemerintah, pekerja itu tidak boleh sejahtera. Jika bicara soal (UU) Cipta Kerja, Pemerintah selalu menyatakan ‘kan bagus pekerja PKWT dikasih pesangon, tapi itu merampas hak pekerja yang sebelumnya sudah bekerja karena pesangon mereka dikurangi,” ujar Yosep yang dihadirkan sebagai Saksi oleh FSP KEP SPSI dan sembilan serikat pekerja lain serta 111 orang pekerja lainnya selaku Pemohon Perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023.
Dalam kesaksiannya, Yosep juga menceritakan ketiadaan ruang perundingan atau dialog sosial yang cukup untuk saling mendengarkan aspirasi antarunsur Dewan Pengupahan dalam proses penetapan Upah Minimum Tahun 2024. Karena semua proses telah dibatasi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Sebagai parameter, perhitungan kenaikan upah minimum kabupaten (UMK) menggunakan data yang disiapkan oleh Badan Pusat Statistik dan formula perhitungan kenaikan UMK sebagaimana tertuang dalam PP 51/2023 tersebut.
Kemudian, Yosep juga mengungkapkan pada proses penetapan upah minimum tahun 2024 juga tidak terdapat pembahasan mengenai upah minimum sektoral. Akibatnya, ia yang juga merupakan pekerja di PT Dharma Precision Parts sejak 2002, hingga saat ini mengalami kesulitan untuk melakukan perundingan dalam kenaikan upah pada 2024 ini.
“Sebab, dalam perjanjian kerja bersama tempat ia bekerja menggunakan selisih upah minimum sektoral tahun berjalan dengan tahun sebelumnya sebagai salah satu parameter kenaikan upah. Demikian juga dengan tahun 2023 dan 2022, tidak ada penetapan mengenai upah sektoral sehingga kenaikan upah pada tahun tersebut menggunakan sistem yang sama dengan tahun sebelumnya,” cerita Yosep dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra beserta hakim konstitusi lainnya.
Baca juga:
Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia Persoalkan Penetapan UU Cipta Kerja
KSBSI Pertegas Alasan Permohonan Uji UU Cipta Kerja
Proses Pembentukan UU Cipta Kerja Kembali Dipersoalkan
Sejumlah Badan Hukum Perjelas Alasan Pengujian Proses Pembentukan UU Cipta Kerja
Ratusan Pekerja Tuding UU Cipta Kerja Permudah Mekanisme PHK
Ratusan Pekerja Perkuat Dalil Uji UU Cipta Kerja
Uji Konstitusionalitas Dua Lembaga Sertifikasi Halal
Partai Buruh Tambahkan Bukti Uji Formil UU Cipta Kerja
Partai Buruh Minta MK Batalkan UU Cipta Kerja
DPR dan Presiden Belum Siap Beri Keterangan, Sidang Uji UU Cipta Kerja Ditunda
MK Tetapkan Pemisahan Uji Formil dan Tunda Uji Materil UU Cipta Kerja
Keterangan DPR dan Presiden Belum Siap, Sidang UU Cipta Kerja Ditunda
Sidang Uji Materil UU Cipta Kerja Ditunda Hingga Uji Formil Diputus
Ahli Pemerintah Bahas Batas PKWT dalam UU Cipta Kerja
Ahli Sebut Pentingnya Serikat Pekerja dalam Keseimbangan Hubungan Industrial
Sebagai tambahan informasi, Perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023 diajukan oleh para Pemohon dari serikat pekerja, di antaranya Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP KEP SPSI); Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP IP); Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPI), dkk. Para Pemohon mempertanyakan tentang persetujuan DPR RI atas penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja). Para Pemohon menilai hal ini berarti sama halnya DPR RI menyetujui alasan kegentingan memaksa Presiden dalam menetapkan Perppu Cipta Kerja. Selain itu, berlakunya Pasal 81 UU Cipta Kerja menjadi penyebab terjadinya kerugian atau setidak-tidaknya potensi kerugian konstitusional yang dialami oleh Para Pemohon yang dapat berakibat hilangnya pekerjaan. Secara substansi UU Cipta Kerja telah banyak merugikan pekerja dengan penerapan regulasi Cipta Kerja yang mempermudah mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Secara umum, perubahan di bidang ketenagakerjaan sebagaimana yang terdapat dalam pasal-pasal UU Cipta Kerja telah mendegradasi perlindungan yang seharusnya diberikan negara kepada pekerja yang sebelumnya telah diatur lebih baik dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Sebelumnya, MK menolak uji formil para Pemohon melalui putusan yang dibacakan pada 18 September 2023 dan melanjutkan pemeriksaan uji materiil para Pemohon.
Sementara itu, Perkara Nomor 61/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh seorang karyawan swasta bernama Leonardo Siahaan. Pemohon menguraikan dalil permohonannya. Ia mengatakan pemohon berusia produktif bekerja meskipun pemohon belum bekerja tetapi secara potensial pemohon pasti bekerja. Ketika pemohon menyadari pemberlakuan Pasal 56 ayat (3) UU Cipta Kerja yang jelas-jelas perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tidak ada batas waktu dan berapa kali PKWT ini diperpanjang. Artinya sangat potensional sekali ketika PKWT itu tidak ada batas waktu dan berapa kali PKWT diperpanjang maka timbul yang namanya eksploitasi pekerja. Tentu sangat rawan sekali mengingat pekerja ini merupakan pihak yang lemah, pihak yang sangat rentan sekali dan pengusaha powerfull. Sehingga ketika pengusaha melihat keberadaan pasal a quo pengusaha akan berpikir bisa saja melakukan perpanjangan kontrak PKWT lebih dari 10 tahun bahkan bisa dilakukan lebih dari 2 kali. Padahal kalau kita lihat di dalam UU Tenaga Kerja yang lama itu jelas sekali bahwa PKWT paling lama adalah 3 tahun dan dapat diperpanjang 1 saja. Tetapi kalau pasal 56 ayat (3) PKWT tidak ada batas waktunya dan tidak ada ketentuan berapa kali PKWT ini diperpanjang. Artinya bisa usia lansia bisa saja seseorang tersebut diperpanjang terus sampai jadi pegawai tetap.
Pendapat Pemohon ini berdasarkan bahwa perusahaan dapat seenaknya menetapkan jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu terlebih lagi bahwa pemberlakuan Pasal tersebut dapat memperpanjang Kembali dalam jangka waktu kemauan perusahaan tanpa repot-repot mengangkat. Dalam permohonan, Pemohon menjelaskan bahwa secara umum pasal a quo mengatur tentang perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang penyelesaiannya didasarkan pada dua keadaan, yaitu jangka waktu selesai atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. (*)
Penulis: Sri Pujianti/L.A.P
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina