JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan uji materiil Pasal 43L ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (UU Terorisme) pada Rabu (7/2/2024). Sidang keempat perkara yang diajukan oleh Peria Ronald Pidu (Pemohon I), Mulyadi Taufik Hidayat (Pemohon II), dan Febri Bagus Kuncoro (Pemohon III) ini beragendakan mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah/Presiden, namun DPR meminta penjadwalan ulang sidang. Sementara Pemerintah/Presiden menyatakan keterangan semestinya disampaikan oleh Masyhudi sebagai Staf Ahli Jaksa Agung Bidang Politik, Keamanan dan Penegakan Hukum Kejaksaan Agung. Akan tetapi, hingga sidang dibuka pada pukul 10.33 WIB, Masyhudi tidak dapat dihubungi sehingga MK menunda kembali pelaksanaan sidang Perkara Nomor 103/PUU-XXI/2023 ini.
“Mahkamah harus melakukan Sidang Pleno pada jadwal berikutnya. Oleh karena itu, kami berikan kesempatan sekali lagi untuk menggunakannya, sambil kita panggil DPR karena minta penjadwalan ulang. Maka MK memberikan waktu untuk sidang berikutnya pada 26 Februari 2024,” jelas Ketua MK Suhartoyo kepada para pihak yang menghadiri sidang di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1, MK.
Baca juga:
Menyoal Konstitusionalitas Aturan Batas Waktu Pengajuan Bantuan Bagi Korban Tindak Pidana Terorisme
Pemohon Pertegas Dalil Konstitusionalitas Batas Waktu Pengajuan Bantuan Bagi Korban Tindak Pidana Terorisme
DPR Absen dan Pemerintah Minta Waktu Menyusun Keterangan Uji UU Terorisme
Sebelumnya, para Pemohon menilai pasal tersebut telah merenggut hak korban atas pemulihan. Pemohon yang merupakan para korban tindak pidana terorisme yang peristiwanya terjadi sebelum diundangkannya UU Terorisme yang belum mendapatkan kompensasi dan bantuan berhak mendapatkannya dengan cara mengajukan permohonan kepada LPSK. Hal ini disertai dengan melampirkan surat penetapan korban Tindak Pidana Terorisme yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Selain itu, pengajuannya dibatasi paling lama 3 tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku, yakni pada 22 Juni 2018. Namun bagi para korban yang telah melewati batas waktu tersebut dan belum mengajukan kompensasi kepada LPSK, maka tidak berhak mendapatkan hak-hak yang diatur di dalam undang-undang tersebut. Akibat norma ini, berimplikasi pada waktu yang tersedia bagi LPSK dan BNPT untuk menyampaikan informasi kepada para korban tindak pidana terorisme di seluruh wilayah Indonesia untuk dapat mengajukan bantuan dan kompensasi kepada negara.
Para Pemohon melaporkan berdasarkan data LPSK, LPSK telah menyerahkan kompensasi kepada 215 orang korban tindak pidana terorisme dengan jumlah kompensasi sebesar Rp39.205.000.000,- pada 2020. Sementara pada 2021 dan 2022, LPSK telah menyerahkan kepada 357 orang korban dengan jumlah kompensasi sebesar Rp59.720.000.000,-. Mengacu pada laporan LPSK tersebut, ternyata hal ini belum semua korban tindak pidana terorisme mendapatkan hak-haknya. Situasi ini menimbulkan ketidakadilan bagi korban, karena waktu yang sangat terbatas bagi korban untuk mengajukan kepada negara—dalam hal ini LPSK. Selain itu, informasi yang didapatkan tidak merata kepada semua korban tindak pidana terorisme di seluruh wilayah Nusantara. Sehingga, banyak korban yang masih belum mendapatkan hak-haknya dalam rangka pemulihannya. Adanya pengaturan mengenai batasan waktu pengajuan permohonan bantuan dan/atau kompensasi bagi korban tindak pidana terorisme ini tentunya bertolak belakang dengan tujuan adanya perlindungan hukum bagi korban. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 43L ayat (4) UU Terorisme bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.