JAKARTA, HUMAS MKRI – Pemohon Perkara Nomor 8/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian materiil Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 2020, tidak menghadiri sidang pemeriksaan pendahuluan pada Selasa (6/2/2024). Pemohon perkara ini ialah mahasiswa bernama Adoni Y. Tanesab yang diwakili kuasa hukumnya Advokat Marthen Boiliu.
Setelah membuka persidangan, Ketua Majelis Hakim Konstitusi Saldi Isra meminta petugas persidangan untuk memastikan kehadiran Pemohon. Namun, Pemohon tetap tidak hadir. “Ini memang ada surat yang disampaikan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi bahwa yang bersangkutan tidak bisa datang dengan alasan lagi tugas di luar kota. Nanti akan dibahas di Rapat Permusyawaratan Hakim, apakah alasan ini dapat dibenarkan atau tidak. Karena tidak hadir sidang, untuk perkara ini dinyatakan selesai dan ditutup,” ujar Saldi diiringi ketukan palu.
Pemohon dalam berkas permohonannya mengajukan permohonan pengujian Pasal 1 ayat (3) huruf a, Pasal 10 ayat (1) huruf a, Pasal 30 huruf a, Pasal 51 ayat (1) dan (3) huruf a dan b, Pasal 51A ayat (1), (2) huruf b, (4) huruf b dan c, (5) huruf b dan c Perubahan Pertama, Pasal 56 ayat (3), (4) dan (5), Pasal 57 ayat (1) dan (2), dan Pasal 59 ayat (1) UU MK beserta penjelasannya, sepanjang mengenai frasa "Undang-Undang". Menurut Pemohon, norma-norma tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa "Undang-Undang" tidak dimaknai "meliputi Putusan Mahkamah Konstitusi yang proses pemeriksaan dan pengambilan Putusan Mahkamah Konstitusi dinyatakan terbukti melanggar prinsip independensi dan ketakberpihakan Kode Etik Perilaku Hakim Konsitusi (Sapta Karsa Hutama) berdasarkan Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK)".
Dengan jalan demikian, Pemohon dapat mengajukan permohonan pengujian/pemeriksaan kembali Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 guna diuji/diperiksa kembali dan dibatalkan karena MK memiliki kewenangan untuk itu. Pemohon dalam permohonannya juga menyebutkan, Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang sudah dinyatakan terbukti melanggar kode etik telah kehilangan legitimasi. Menurut Pemohon, ketentuan yang menyatakan, "Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” pun ikut kehilangan legitimasi.
Oleh karena itu, menurut Pemohon sudah tepat dan benar jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pengujian pasal-pasal UU MK yang dimohonkan Pemohon, agar dengan jalan demikian Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut dapat diuji/diperiksa dan dibatalkan guna menciptakan kepastian hukum dan keadilan hukum sebagai sumber legitimasi hukum atas calon presiden dan calon wakil presiden yang dikehendaki Pemohon dan 204.807.222 pemilih Indonesia.
Berita Terkait:
Pemohon Minta Putusan MK Yang Langgar Kode Etik Dapat Diuji
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.