JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang uji materiil Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), pada Kamis (01/2/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang tersebut dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi delapan hakim konstitusi.
Dalam persidangan yang digelar secara luring tersebut, para Pihak Terkait menghadirkan ahli yakni Achmad Santosa, Abdul Motalib Angkotasan dan Rignolda Djamaluddin. Achmad Santosa selaku Ahli yang dihadirkan oleh Pihak Terkait Idris dkk menegaskan pengelolaan sumber daya alam tidak semata-mata mengacu pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, tetapi juga harus mendasarkan pada Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, Pasal 28H UUD 1945, Pasal 3 dan Pasal 4 UU PWP3K, dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan terutama intergenerational dan precautionary principle.
Achmad menuturkan, Indonesia memaknai prinsip berkelanjutan sebagai prinsip berkelanjutan yang kuat (strong sustainability). Oleh karena itu, terhadap pasal yang diuji oleh Pemohon, ahli berpandangan bahwa Pasal 23 ayat (2) UU PWP3K yang tidak memberikan ruang bagi kegiatan pertambangan di pulau-pulau kecil sejalan dengan asas dan tujuan dari Pasal 3 dan Pasal 4 huruf a UU PWP3K yang menekankan pada keberlanjutan dan tujuan perlindungan dan konservasi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.
Selain itu, Achmad juga menyebut Pasal 23 ayat (2) UU PWP3K juga telah sejalan dengan prinsip strong sustainability yang menghendaki perlindungan terhadap sumber daya alam yang kritikal seperti wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (critical natural capital). Pasal 23 ayat (2) UU PWP3K juga sejalan dengan prinsip-prinsip berkelanjutan terutama intergenerational dan precautionary principle, dan bahwa karakter dari kegiatan pertambangan yang merupakan abnormally dangerous activity atau kegiatan yang menimbulkan ancaman serius.
“Dengan demikian ahli berpendapat bahwa Pasal 35 huruf k UU PWP3K tersebut harus dimaknai bahwa pengelolaan pulau-pulau kecil tidak diperuntukkan untuk kegiatan pertambangan,” tegasnya.
Faktor Oseanografis
Sementara Rignolda Djamaluddin selaku Ahli yang dihadirkan oleh Pihak Terkait Abd. Latif, dalam paparannya menyebut pulau kecil di wilayah Nusantara sangat spesifik secara geologis (diapit oleh 2 lempeng benua dan 2 lempeng samudera), oseanografis (berada di antara 2 samudera), dan geografis (ekuatorial). Faktor oseanografi yang berlaku di pulau kecil berbeda dengan yang ada di daratan besar. Aksi gelombang dan arus yang berlaku pada pulau kecil lebih aktif dan kompleks sehingga berdampak terhadap perubahan di pesisir pantai pulau-pulau kecil. “Aksi faktor oseanografis tersebut akan semakin kompleks dan dinamis di masa akan datang dengan adanya pengaruh perubahan iklim dalam bentuk kenaikan muka laut dan kejadian badai tropis,” terangnya.
Menurutnya, kondisi oseanografis yang sangat dinamis berlaku pada perairan sekitar pulau kecil teridentifikasi dengan sangat jelas pada indeks kerentanan pantai pulau-pulau kecil yang pada umumnya berada pada level sedang hingga sangat tinggi. Dengan level kerentanan seperti ini, pulau-pulau kecil di Indonesia sangat mudah mengalami degradasi.
Menurutnya, di masa akan datang, pulau-pulau kecil akan semakin rentan akibat kenaikan muka laut. Dampak jangka panjang kenaikan muka laut pada pulau kecil dapat berupa mundurnya garis pantai, perendaman daratan dekat pantai dengan topografi landai, bahkan yang paling buruk akan menyebabkan hilangnya pulau-pulau dengan topografi landau secara perlahan. Bagi pulau-pulau tertentu yang terdampak oleh gelombang badai (siklon tropis), kerusakan fisik di wilayah pantai akan sangat serius.
Sedangkan Ahli Abdul Motalib Angkotasan menegaskan pulau-pulau kecil memiliki bentuk jenis pulau yang berbeda. Setiap pulau memiliki daya tampung air yang berbeda. Sehingga dalam konteks ketersediaan sangat tergantung pada vegetasi hutan di daratnya yang kemudian menjadi penyanggah untuk menyerap air hujan menjadi sumber air bersih untuk masyarakat pesisir. Sehingga pulau kecil sendiri menjadi sangat rentan terhadap ketersediaan air bersih.
Terkait dengan eksploitasi tambang di pulau kecil, Abdul mengatakan akan mengalami perubahan landscape daratan. Hal itu dikarenakan vegetasi dibuka untuk diambil mineral tambangnya. Sehingga yang terjadi adalah deforestasi, vegetasinya hilang, flora dan fauna hilang. Ketika itu yang terjadi maka akan terjadi kehancuran ekosistem di bagian daratan pulau. Apalagi pulau-pulau yang dieksploitasi itu rata-rata adalah pulau berbukit dengan elevasi kemiringan yang lebih dari 10 derajat.
Baca juga:
Menguji Aturan Larangan Penambangan Mineral Di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Pemerintah Belum Siap Beri Keterangan Perihal Pengelolaan Wilayah Pesisir
Hak Masyarakat Adat pada Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil
Politik Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil
Aktivitas Pertambangan di Pulau Wawonii Merusak Keharmonisan dan Kohesi Sosial
Saksi Ungkap Dampak Aktivitas Pertambangan di Pulau Wawonii
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 35/PUU-XXI/2023 dalam perkara pengujian Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU PWP3K ini diajukan oleh PT. Gema Kreasi Perdana yang diwakili oleh Rasnius Pasaribu (Direktur Utama). Pemohon merupakan badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas yang memiliki Ijin Usaha Pertambangan di wilayah yang tergolong Pulau Kecil, terdapat keterkaitan sebab akibat (causal verband) dengan berlakunya Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU PWP3K. Pasal tersebut ditafsirkan oleh Mahkamah Agung sebagai larangan tanpa syarat untuk melakukan kegiatan penambangan mineral di wilayah yang tergolong Pulau Kecil. Padahal Pemohon telah memiliki ijin yang sah dan diterbitkan oleh instansi yang berwenang untuk melakukan penambangan nikel di wilayah tersebut. Bahkan Ijin Usaha Pertambangan milik Pemohon telah mengalami beberapa kali perubahan dari Ijin semula berupa Kuasa Pertambangan Nomor 26 Tahun 2007 yang terbit sebelum berlakunya UU Pengelolaan Wilayah Pesisir.
Menurut Pemohon, Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU PWP3K bila ditafsirkan sebagai larangan terhadap kegiatan pertambangan secara mutlak tanpa syarat, maka seluruh tata ruang terhadap Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diatur oleh Peraturan Daerah akan bertentangan dengan UU tersebut dan harus dilakukan perubahan. Akibatnya, seluruh perusahaan yang berusaha di bidang pertambangan di wilayah-wilayah tersebut harus dihentikan pula. Tentu hal ini akan merugikan banyak perusahaan tambang, dan sama halnya dengan Pemohon. Padahal perusahaan-perusahan tambang telah melaksanakan kewajiban pembayaran kepada negara.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.