JAKARTA, HUMAS MKRI – Konsep penguasaan negara dalam Pasal 33 UUD 1945 harus dimaknai secara luas sebagai konsep hukum publik yang mengutamakan kolektivitas rakyat atau sumber cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Konsep ini juga menunjukkan terdapat mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Demikian keterangan yang disampaikan oleh Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Ibnu Sina Chandranegara yang dihadirkan Pemerintah sebagai Ahli. Ia hadir dalam sidang lanjutan uji materiil Pasal 38 dan 42 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Kamis (1/2/2024). Perkara Nomor 39/PUU-XX/2022 ini dimohonkan oleh 10 serikat pekerja yang terdiri dari Serikat Pekerja PT Perusahaan Listrik Negara (PERSERO) (SP PLN), Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP IP), Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa Bali dan 109 perseorangan lainnya.
“Sehingga kewenangan negara berbentuk perizinan lisensi konsensi perumusan legislasi dan regulasi termasuk mekanisme kepemilikan saham dalam pengelolaan atau keterlibatan langsung dalam manajemen BUMN merupakan suatu keniscayaan sebagai bentuk penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak,” ujar Ibnu yang hadir di Ruang Sidang Pleno MK tersebut.
Menurut Ibnu, pemaknaan konsep dikuasai negara juga mengalami moderasi ketika MK menyatakan dalam berbagai putusannya mengenai keterlibatan pihak swasta dalam cabang-cabang produksi yang penting dan mengusai hajat hidup orang banyak. Mahkamah memiliki pendirian untuk tidak menolak atau melarang keterlibatan swasta sepanjang masih dalam batas-batas penguasaan oleh negara atau dalam pengertian bahwa negara atau pemerintah masih memegang kendali. Bahkan keterlibatan swasta nasional atau asing yang tidak dilarang maka keterlibatan masyarakat secara swadaya atau koperasi dinyatakan tidak dilarang.
Manifestasi Penguasaan Negara
Selanjutnya, Ibnu mengatakan bentuk penguasaan yang berdasarkan penguasaan negara dapat memiliki manifestasi, antara lain pengusahaan dan penguasaan yang dilakukan sendiri oleh negara atau pemerintah secara langsung. Ia menambahkan pengusahaan atau penguasaan yang dilakukan oleh perusahaan yang dimiliki oleh negara dalam satu kesatuan tindakan serta penguasaan dan pengusahaan yang dilakukan oleh swasta dengan pendekatan penguasaan negara yang bertingkat dan sepanjang negara masih memegang kendali.
“Ketika memakai kerangka berpikir maka ahli memandang satu-satunya manifestasi yang tidak sesuai dengan konsep penguasaan negara menurut Pasal 33 UUD 1945 adalah ketika bentuk pengusahaan dan penguasaan sumber-sumber produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak yang sepenuhnya diserahkan ke swasta dengan menghilangkan kontrol negara atau sepenuhnya menyerahkan kepada mekanisme pasar,” papar Ibnu di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo tersebut.
Berdasarkan kerangka berpikir tersebut, Ibnu menilai Pasal 42 angka 6 lampiran UU Cipta Kerja tidak termasuk ke dalam bentuk manifestasi yang bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini disebabkan beberapa argumentasi, antara lain bentuk manifestasi penguasaan dan pengusahaan yang diformulasikan dalam Pasal 42 angka 6 UU Cipta Kerja mereferensikan kemungkinan manifestasi konsep negara yaitu penguasaan dan pengusahaan secara langsung oleh negara.
“Kedua penguasaan dan pengusahaan yang dilakukan oleh perusahaan yang dimiliki oleh negara dalam bentuk satu kesatuan tindakan dan ketiga penguasaan yang dilakukan oleh swasta dengan pendekatan penguasaan negara yang bertingkat dan sepanjang negara negara atau pemerintah masih memegang kendali,” terangnya.
Sementara itu, Tumiran yang merupakan Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada selaku Ahli Pemerintah lainnya menyampaikan, sektor ketenagalistrikan menjadi memang memberikan peran strategis dalam pembangunan nasional berkelanjutan terutama untuk memenuhi kebutuhan untuk mendukung perekonomian Indonesia yang terus berkembang.
“Di dalam upaya memenuhi kriteria agar prasaat penyediaan energi listrik dapat memenuhi kebutuhan pelanggan dengan baik, Pemerintah memiliki peran menmbuat regulasi yang sejalan, agar jaminan pasokan listrik pelanggan terjamin, atmosfer bisnis kelistrikan sehat dan azas terpenuhinya pasokan listrik untuk kesejahteraan masyarakat juga terpenuhi,” tandasnya.
Pada kesempatan yang sama, Pemohon juga menghadirkan dua saksi, yakni Dedy Firmansyah Sembiring dan Herdin Hironimus Zebua. Kedua saksi merupakan pegawai PT PLN yang menerangkan situasi tempatnya bekerja saat terjadinya pemadaman di Pulau Nias pada 2016 lalu.
Baca juga:
Serikat Pekerja PLN Uji UU Cipta Kerja
Serikat Pekerja PLN Uji UU Cipta Kerja Perkuat Kedudukan Hukum
DPR Reses, Sidang Lanjutan Uji UU Cipta Kerja Ditunda
Pakar dari The City University of New York Sebut Pasal 33 UUD 1945 Sebagai Modal Hadapi Krisis Energi
Sebelumnya, para Pemohon menjelaskan UU Cipta Kerja mengatur kembali usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum tidak terintegrasi atau unbundling. Sebelum diubah oleh UU Cipta Kerja, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (1) UU 30/2009 tentang Ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan) telah ditafsirkan secara konstitusional melalui putusan MK 111/PUU-XIII-2015 dan UU Ketenagalistrikan Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang telah dibatalkan oleh MK pada 21 Desember 2004 dengan putusan perkara 001-021-022/PUU-I/2003. Kedua UU tersebut diputuskan karena pengaturan sistem unbundling dalam usaha penyediaan tenaga listrik yang bertentangan dengan UUD 1945. Namun sistem unbundling ini kembali dihidupkan kembali dalam UU Cipta Kerja.
Para Pemohon mendalilkan substansi Pasal 10 ayat (2) UU Cipta Kerja sama dengan substansi Pasal 10 ayat (2) UU Ketenagalistrikan yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK melalui Putusan Nomor 111/PUU-XIII-2015. Selain itu, ia juga menjelaskan tenaga listrik yang mana merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hak hajat hidup orang banyak telah ditegaskan oleh pembuat UU Ketenagalistrikan sebagaimana tertera dalam konsideran menimbang huruf a dan penjelasan Pasal 3 ayat (1). Kegiatan usaha ketenagalistrikan yang dilakukan secara kompetitif dengan memperlakukan pelaku usaha secara sama dan oleh badan usaha yang telah terpisah atau unbundled adalah bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana pula merujuk pada pertimbangan hukum putusan MK Nomor 001-021-022/PUU-I/2003.
Selain itu, para Pemohon menjelaskan beberapa alasan permohonan seperti UU Cipta Kerja mengatur kembali usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum tidak terintegrasi (unbundling). Sistem unblunding yang dimaksud adalah pemisahan usaha penyediaan tenaga listrik menjadi usaha pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan. Klausul itu praktis menjadikan listrik sebagai barang jualan. Pemohon menegaskan usaha ketanagalistrikan yang dilakukan secara kompetitif dengan memperlakukan pelaku usaha secara sama dan oleh badan usaha yang terpisah adalah bertentangan dengan UUD 1945. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta kedua pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina