JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan yang diajukan oleh Pensiunan ASN Kementerian Agama Kabupaten Bojonegoro atas nama Artiningkun terhadap uji Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (UU Bahasa) tidak dapat diterima. Sidang Pengucapan Putusan dari Perkara Nomor 161/PUU-XXI/2023 ini digelar pada Rabu (31/1/2024) dengan dipimpin Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi hakim konstitusi lainnya.
Dalam pertimbangan hukum Mahkamah, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyebutkan terhadap permohonan yang diajukan pada 2 November 2023 dan diterima Kepaniteraan MK pada 10 November 2023, Mahkamah telah menggelar Sidang Pendahuluan dengan agenda mendengarkan permohonan Pemohon pada 19 Desember 2023. Pada sidang tersebut, Mahkamah memberikan nasihat agar Pemohon memperjelas posita permohonan dan memperbaiki rumusan petitum. Kemudian Mahkamah kembali menggelar sidang kedua pada 17 Januari 2024.
Setelah mendengarkan penjelasan Pemohon, Mahkamah memberikan penilaian bahwa pada bagian posita permohonan terdapat uraian yang diulang-ulang sehingga mengaburkan fokus permohonan, akibatnya posita permohonan sulit dimengerti. Selain itu, sistematika penulisan yang digunakan Pemohon tidak lazim dan penyusunan petitum permohonan dituliskan sebagaimana uraian dari sebuah posita. Bahkan dari seluruh rumusan petitum, tidak terdapat rumusan yang menyatakan pertentangan antara Pasal 25 ayat (1) UU Bahasa dengan UUD 1945.
“Meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan Pemohon dan memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon, tetapi permohonan Pemohon kabur atau tidak jelas, maka Mahkamah tidak akan mempertimbangkan pokok permohonan,” ucap Arief.
Baca juga:
Ejaan Lama Masih Tercantum, UU Bahasa Diuji
Pensiunan ASN Kemenag Sempurnakan Alasan Menyoal Pengunaan Ejaan Lama Pada UU Bahasa
Pada Sidang Pendahuluan pada Selasa (19/12/2023) lalu, Pemohon menyebutkan pasal yang diujikan tersebut telah mendeskreditkan atau melemahkan kewibawaan bangsa Indonesia—dalam hal pemaknaan bahasa Indonesia. Sebab dalam pandangan Pemohon, bahasa Indonesia yang dimaksudkan pada pasal tersebut masih berpedoman pada Ejaan Van Ophuijsen yang digunakan oleh warga negara Belanda atau disebut juga bahasa Melayu. Sehingga norma tersebut menjadi undang-undang jadi-jadian yang bertentangan dengan UUD 1945. Karenanya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan norma tersebut bertentangan dengan UUD 1945. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina