JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak seluruh permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diajukan oleh Arwan Koty. Sidang pengucapan Putusan Nomor 158/PUU-XXI/2023 ini dilaksanakan di MK pada Rabu (31/01/2024).
“Amar putusan, mengadili: menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan bersama seluruh hakim konstitusi di Ruang Sidang Pleno MK.
Setelah Mahkamah mencermati lebih lanjut permohonan Pemohon, sesungguhnya yang didalilkan Pemohon terhadap peristiwa pidana yang mengakibatkan Pemohon dipidana 6 (enam) bulan penjara yang didasari oleh surat penghentian penyelidikan. Menurut Mahkamah, hal itu adalah asumsi yang tidak mendasar, karena untuk dapat dinyatakannya seseorang dijatuhi pidana aduan fitnah tidaklah didasarkan pada ada atau tidaknya surat penghentian penyelidikan, melainkan didasarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan meyakinkan sebagaimana diatur dalam KUHAP.
“Tanpa menilai kasus konkret yang dialami Pemohon yang telah dijatuhi pidana dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dengan didasarkan pada alat bukti dan keyakinan hakim sebagaimana diatur dalam UU 8/1981, menurut Mahkamah, terhadap fakta yang dialami Pemohon bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan merupakan implementasi norma,” ujar Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur saat membacakan pertimbangan hukum MK.
Selanjutnya, Ridwan membacakan pertimbangan terhadap uji konstitusionalitas norma Pasal 108 ayat (1) KUHAP jika dilakukan terhadap peristiwa yang telah diterbitkan surat penghentian penyelidikan. Ridwan mengatakan ketentuan norma Pasal 108 ayat (1) KUHAP merupakan ketentuan yang memberikan hak untuk melaporkan kepada penyelidik dan/atau penyidik suatu tindak pidana bagi siapa saja yang mengalami, melihat, menyaksikan dan/atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana tersebut. Siapa saja dalam hal ini adalah setiap orang dan kata ‘mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana’ berarti pelapor atau pengadu adalah yang ‘mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban’. Sedangkan, kata ‘berhak’ dalam Pasal a quo menunjukkan bahwa orang yang mengalami, melihat, menyaksikan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana mempunyai kepentingan yang dilindungi oleh hukum untuk melaporkan peristiwa pidana tersebut.
Makna “Berhak” dalam Pelaporan Pidana
Ridwan melanjutkan, terhadap makna 'berhak’ untuk melaporkan peristiwa pidana tersebut bukan merupakan kewajiban hukum tetapi adalah pilihan bagi orang yang mengalami, melihat, menyaksikan, atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana sehingga dapat digunakan ataupun tidak digunakan karena tidak ada akibat hukum apapun yang akan dikenakan kepadanya jika tidak melakukan pelaporan suatu tindak pidana yang dialami, dilihat, disaksikan, ataupun menjadi korban.
Pengaturan terkait hak yang diberikan secara jelas oleh KUHAP terhadap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan, ataupun menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana tersebut merupakan bentuk pengakuan dan perlindungan terhadap HAM sebagaimana dijamin dalam UUD 1945, sehingga pelaksanaannya tidak bisa dibatasi kecuali yang telah secara tegas diatur dalam peraturan perundang-undangan.
MK menilai, apabila dikaitkan dengan permohonan Pemohon yang meminta pembatasan pelaksanaan hak dari siapa saja yang mengalami, melihat, menyaksikan dan/atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana untuk memberikan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan/atau penyidik baik secara lisan ataupun tulisan apabila terhadap peristiwa yang diduga adalah peristiwa pidana telah diterbitkan surat penghentian penyelidikan, sehingga menurut Pemohon hal tersebut tidak bisa dilaporkan balik. Tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon dan putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan Pemohon, menurut Mahkamah jika benar apa yang didalilkan Pemohon maka hal tersebut seyogianya menjadi perhatian dan kehatihatian bagi penyelidik atau penyidik untuk tidak dengan mudah mentersangkakan pelapor yang pelaporannya telah dihentikan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) bagi siapa saja yang mengalami, melihat, menyaksikan dan/atau menjadi korban peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana. Dalam hal penyidik atau penyelidik mengabaikan hal tersebut, dapat menyebabkan seseorang takut atau enggan melaporkan perihal adanya dugaan tindak pidana.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, menurut Mahkamah, norma Pasal 102 ayat (1) dan Pasal 108 ayat (1) KUHAP telah ternyata memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta melindungi penegakan HAM, yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 281 ayat (5), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tidak sebagaimana yang didalilkan Pemohon. Dengan demikian, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Baca juga:
Menguji Aturan Penghentian Penyelidikan Melalui Surat Penghentian
Pemohon Uji Aturan Penghentian Penyelidikan Melalui Surat Penghentian Perbaiki Kerugian Konstitusional
Sebelumnya Pemohon menguji Pasal 102 ayat (1) KUHAP menyatakan, “Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan”. Serta Pasal 108 ayat (1) KUHAP menyatakan, “Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan, dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada Penyelidik dan atau Penyidik baik lisan atau tertulis”.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini S.F.