JAKARTA, HUMAS MKRI – Dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yance Arizona menjadi ahli yang dihadirkan Pemohon dalam Perkara Nomor 78/PUU-XXI/2023 mengenai pengujian sejumlah ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Yance mengatakan, norma KUHP dan UU ITE yang dimohonkan Pemohon memiliki ketegangan dengan norma perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang termuat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
“Tidak dapat dipungkiri bahwa ketentuan norma KUHP dan juga Undang-Undang ITE yang dimohonkan oleh Pemohon memiliki ketegangan dengan norma perlindungan hak asasi manusia satu sama lain,” ujar Yance dalam sidang dengan agenda mendengarkan keterangan ahli Pemohon pada Rabu (31/1/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.
Yance menuturkan, sering kali MK dan Pemerintah akan meninjau pertentangan norma tersebut menggunakan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 sebagai tolak ukurnya. Permasalahannya adalah prinsip-prinsip pembatasan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tidak pernah mendapatkan penjelasan yang spesifik. Menurut Yance, terdapat lima prinsip atau tolak ukur yang terdapat dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yaitu menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain, pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Dengan demikian, menurut Yance, dibutuhkan penjelasan yang lebih spesifik untuk menilai bagaimana pembatasan suatu hak telah sesuai dengan lima prinsip atau tolak ukur tersebut. Namun, bila pokok permohonan ini hendak dinilai, sekaligus dengan mempertimbangkan tujuan dan dasar pembatasan hak dalam klausul pembatasan, maka ada beberapa hal yang bisa dikemukakan. Pertama, ketentuan yang dimohonkan (Pasal 14, 15, 310 KUHP dan 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (3) UU ITE) bertentangan dengan prinsip menjamin pengakuan serta penghormatan atas kebebasan orang lain, apabila ketentuan-ketentuan tersebut tidak saja melindungi kebebasan orang lain (right-bearing subject), tetapi juga substansinya serta penerapannya selama ini yang juga digunakan untuk membentengi pejabat, jabatan, dan lembaga pemerintah.
Kedua, ketentuan yang dimohonkan harus ditinjau dari efeknya terhadap aspek moral yang sering kali terkait dengan etika dan sopan santun. Meskipun demikian, perlu merumuskan agar penilaian terhadap pertimbangan moral tersebut tidak dilakukan secara semena-mena karena tidak jelasnya aktor yang dapat menentukan kebenaran moral di dalam masyarakat. Selain itu, yang perlu ditelisik adalah niat jahat dari penyampaian informasi dan pendapat yang dilakukan oleh seseorang, bukan berfokus pada kesalahan informasinya.
Ketiga, nilai-nilai agama juga merupakan suatu prinsip yang lentur dan jamak karena sangat bergantung dari agama-agama yang berbeda serta aliran-aliran yang terdapat dalam setiap agama. Keempat, prinsip keamanan dikaitkan dengan keadaan bebas dari gangguan fisik dan psikis. Kelima, ketertiban umum suatu masyarakat yang demokratis dapat dijamin dengan merumuskan tindak pidana sebagai delik materiil daripada delik formiil, sehingga ada tolak ukur dari akibat yang nyata dan hubungan kausal antara perbuatan dengan akibat yang terjadi.
Menurut Yance, perumusan yang lebih konkret terhadap prinsip atau norma pembatasan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 sangat diperlukan untuk menjamin perlindungan dan pemenuhan hak warga negara. Tanpa tolak ukur yang jelas, ketentuan pembatasan bisa menyebabkan terjadinya pelanggaran hak yang eksesif dan bisa menjadikan norma-norma HAM lainnya yang telah dijamin konstitusi menjadi ‘mati’.
“Bila hal tersebut terjadi, maka konstitusi kita telah berubah menjadi ‘sham constitutions’ seperti etalase yang selama ini telah dilakukan oleh negara-negara otoritarian,” kata Yance.
Penerapan Doktrin Pembatasan
Di samping itu, Pemohon juga menghadirkan ahli lainnya untuk memberi keterangan dalam sidang kali ini yaitu Dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum sekaligus Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Islam Indonesia Eko Riyadi. Eko menuturkan, di bidang HAM, perkara-perkara terkait dengan penerapan doktrin pembatasan (limitation) terhadap hak-hak individu yang pengujiannya memerlukan dua langkah. Pertama, pengadilan dalam hal ini Mahkamah harus menentukan apakah ada hak-hak individu yang dibatasi (restricted). Kedua, apakah pembatasan tersebut dapat dibenarkan atau absah (justified).
Eko menjelaskan, inti pengujian keabsahan terletak pada tes proporsionalitas. Menurut tes ini, tindakan pembatasan hak-hak individu adalah proporsional jika memenuhi beberapa kualifikasi antara lain dilakukan dalam tujuan yang sah, terhubung secara rasional dengan tujuan, tindakan itu adalah yang paling tidak membatasi dibanding semua cara lain yang sama efektifnya, dan bukan tindakan tidak proporsional dalam arti yang sempit.
Eko melanjutkan, pertanyaan penting yang harus diuji Mahkamah dalam perkara pembatasan HAM antara lain apakah turut campur negara didasari hukum yang jelas dan dapat diakses, apakah ada alasan yang sah untuk melakukan turut campur, apakah tindakan turut campur itu memadai dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, serta apakah tindakan turut campur itu proporsional dengan tujuan yang hendak dicapai dan memang dibutuhkan dalam masyarakat yang demokratis?
Pertanyaan kuncinya adalah apakah ada keseimbangan yang fair (fair balance) antara kepentingan pemohon dengan kepentingan komunitas masyarakat secara umum. Prinsip keseimbangan juga akan digunakan saat hak-hak tertentu atau klausul tertentu dalam konstitusi dilanggar atau dibebani (burdened). Operasionalisasinya adalah bagaimana membandingkan antara pelanggaran terhadap hak dan seberapa besar kepentingan pemerintah.
Kritik terhadap Pejabat
Eko menjelaskan, yang tidak dibolehkan dalam HAM ada dua yaitu ujaran kebencian (hate speech) dan propaganda perang. Sementara kritik, kata Eko, sudah jelas disebut dalam Pasal 19 International Covenant on Civil and Political Rights bahwa kritik terhadap pejabat adalah bagian dari kebebasan berekspresi.
“Bagaimana membedakannya? Sepanjang yang dikritik itu adalah kebijakan-kebijakannya termasuk perilakunya sebagai pejabat, maka itu adalah posisi dia dan konsekuensinya sebagai pejabat publik, tetapi ketika yang direndahkan itu adalah pribadinya bukan sebagai pejabat publik dan tidak ada hubungannya dengan pejabat publik maka itu kita kualifikasikan sebagai menyerang pribadi,” jelas Eko.
Dia menambahkan, di negara-negara yang sudah cukup modern sebenarnya menghindari penggunaan mekanisme pidana untuk mengadili kasus serangan terhadap individu, tetapi lebih banyak menggunakan mekanisme perdata. Menurut dia, sudah saatnya Indonesia menghindari penggunaan pasal pidana untuk kasus tersebut.
“Saya berpikir, ngapain negara harus capek-capek, negara harus mengeluarkan biaya yang cukup besar dalam proses peradilan untuk membela hak personal yang sebenarnya seharusnya menjadi bagian dari ruang privat yang bisa diajukan ke pengadilan perdata dalam konteks untuk membuktikan kerugian yang diderita atas serangan itu,” tutur Eko.
Eko mengatakan, salah satu instrumen untuk menguji hak dan kepentingan adalah dengan menggunakan data empirik yang mampu menjelaskan reliabilitas empirik dari kerugian yang telah terjadi. Reliablitas data-data empirik dapat dilihat dari data tentang penggunaan Undang-Undang ITE, khususnya Pasal 310 ayat (1) KUHP, Pasal 27 ayat (3) UU ITE, Pasal 45 ayat (3) menjadi penting untuk dijadikan dasar hukum. Dia beragumentasi, MK tidak hanya mengadili norma tetapi juga menguji perkara rill atau empirik dalam kaitannya dengan norma tertentu.
“Saya sependapat dengan Mas Yance dan Yang Mulia semua bahwa Mahkamah Konstitusi memang adalah pengadilan norma tetapi yang saya katakan adalah Mahkamah Konstitusi juga harus menguji perkara riil/empirik dalam konteks mengadili norma,” ucap Eko.
Sebelum menutup persidangan, Ketua MK Suhartoyo mengatakan, kesimpulan dari para pihak ditunggu sampai Senin, 12 Februari 2024 pukul 10.00 WIB.
Baca juga:
Menguji Konstitusionalitas Aturan Sanksi Pencemaran Nama Baik terhadap Pejabat Negara
Pemohon Uji Konstitusionalitas Aturan Sanksi Pencemaran Nama Baik terhadap Pejabat Negara Perbaiki Permohonan
Haris Azhar Sampaikan Harapannya kepada Majelis Hakim Konstitusi
MK Tunda Sidang Ketentuan Pidana dalam UU ITE
Saksi Pemohon Ungkap Proses Penangkapan dan Postingan di Twitter dalam Sidang MK
Ahli Soroti Potensi Bahaya Berita Hoaks dan Keterbatasan Pasal Terkait Kebebasan Berpendapat
Bambang Harymurti Sebut Pasal 14 dan 15 UU 1/1946 Membahayakan Kehidupan Demokrasi
Keterangan Yance Arizona dan Eko Riyadi selaku ahli Pemohon tersebut disampaikan dalam sidang Perkara Nomor 78/PUU-XXI/2023 terkait pengujian materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-Undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan juncto Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara; KUHP; dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal yang diuji, yakni Pasal 14 dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 310 ayat (1) KUHP, serta Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (3) UU ITE. Dalam petitumnya, para Pemohon meminta MK, menyatakan pasal-pasal di atas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Para Pemohon perkara ini ialah aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Haris Azhar, Fatiah Maulidiyanty, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), serta Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Pengujian UU ini berkaitan dengan kasus pencemaran nama baik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang melibatkan Haris Azhar dan Fatiah Maulidiyanti. Bahkan dalam provisinya, para Pemohon meminta MK memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk menghentikan dan menunda pemeriksaan perkara nomor 202/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim dan nomor 203/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim sampai adanya putusan perkara ini.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.